Jakarta - Peminat wayang yang mulai menurun kemungkinan disebabkan oleh bahasa pengantar yang sulit dimengerti, terutama untuk generasi muda.
Turunnya minat akan kesenian wayang itu dikhawatirkan bisa menghambat renegerasi penonton wayang, karena masyarakat banyak yang tidak mengerti bahasa pengantar yang diucapkan oleh dalang.
Bahasa yang sering digunakan oleh para dalang adalah bahasa Jawa, sedangkan yang mengerti bahasa jawa tidak begitu banyak, terlebih untuk generasi muda.
“Penonton sepi bukan karena dalangnya siapa, melainkan bahasa yang digunakan oleh dalang kurang dipahami generasi muda, yang cenderung lebih banyak memakai bahasa Inggris,” jelas Subagyo Partodoharjo, Penasehat Pepadi, dan juga pengamat wayang.
Subagyo yang juga pemrakarsa Pedalangan Nusantara, menyampaikan hal tersebut dalam diskusi perkembangan seni budaya wayang di Jakarta, yang diadakan oleh PT Bank Central Asia Tbk (BCA), bekerja sama dengan Persatuan Perdalangan Indonesia (Pepadi) di Hotel Santika Jakarta hari ini.
“Contohnya di Jawa Timur, sekarang ini bila ada pertunjukan wayang kulit semalam suntuk, maka sejak sore warga berduyun-duyun datang ke lokasi. Sebab, ada musik dangdut campursari. Saat wayang mulai main, mereka satu persatu menghilang sehingga penonton jadi sepi,” ungkapnya
Menurut dia, wayang tanpa pergelaran akan mati, dan pergelaran tanpa penonton pun bisa punah.
Seiring berjalannya waktu, katanya, orang-orang yang terlibat di dalam wayang bertambah tua. Dalang-dalang senior makin sepuh dan akhirnya wafat. Penabuh gamelan dan sinden pun begitu. Bagaimana dengan penonton?
Dalam era globalisasi ini, lanjut Subagyo yang juga anggota DPR-RI Komisi IX, penonton fanatik wayangpun semakin tua dan banyak yang meninggal dunia. Sementara generasi muda Jawa mengalami berbagai perubahan.
Perubahan tersebut, ujarnya, antara lain generasi muda Jawa makin tidak mengerti bahasa Jawa, malah lebih banyak pakai bahasa asing. Itu karena bahasa Jawa kian jarang digunakan di rumah, dalam masyarakat, di kantor, dan sekolah.
Selain itu masyarakat berkenalan dengan jenis kesenian baru yang mudah dinikmati dan berdurasi pertunjukan pendek. Sementara penonton Jawa makin tidak tertarik wayang, karena kesulitan bahasa dan kendala waktu, masyarakat luar Jawa pun tidak tertarik pada wayang.
Untuk itu, kata Subagyo, perlu ada inovasi dalam pertujukan wayang. Misalnya, dalang dengan bahasa Indonesia, agar bisa dimengerti oleh seluruh masyarakat dari daerah mana saja. Musik pengiringnya pun ditampilkan sedikit heboh agar penonton tertarik.
“Kami juga meminta kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar memasukkan wayang dan dalang dalam kurikulum pelajaran kesenian dan budi pekerti. Saat ini masih didiskusikan,” katanya.
Bila wayang ditampilkan dalam bahasa Indonesia dan durasi pertunjukannya diperpendek menjadi 2 jam saja, tambah Subagyo, maka dia optimistis wayang akan disukai oleh banyak orang.
“Kalau wayang dalam bahasa Indonesia, maka bisa jadi nantinya akan banyak dalang dari daerah lain. Bisa jadi orang Batak juga bisa mendalang,” ungkapnya
Memang, katanya, wayang adalah tontonan masyarakat Jawa yang sudah turun temurun, maka amat disayangkan jika regenerasi penontonnya tidak terjadi hanya dikarenakan permasalahan bahasa.
Sementara itu Ki Enthus Susmono, dalang dari Tegal yang sudah menerapkan pakai bahasa Indonesia, menuturkan bagus tidaknya pertunjukan wayang tergantung pada dalangnya.
Menurut dia, sejak menerapkan pendalangan dalam bahasa Indonesia, penontonnya jadinya banyak, dan grupnya lebih sering ditanggap. “Kami tampil sekitar 2 jam. Musiknya sedikit kencang, sehingga penonton juga bersemangat,” ungkap Enthus.
Dia mengaku untuk program Ramadhan dan Lebaran nanti, grupnya banyak ditanggap oleh masyarakat, baik di pesantren, masjid, dan di masyarakat dari berbagai daera
Tidak ada komentar:
Posting Komentar