Wayang kulit ‘Purwa’ bukan sekedar seni
pertunjukan yang karenanya bisa diubah sekenanya. Modifikasi dalam seni
pertunjukannya diperbolehkan, namun tetap harus ada patokan yang jadi
pegangan, tidak serta merta keluar sepenuhnya dari pakem yang ada.
Wayang Kulit Purwa ‘Jawa’, yang biasa
disebut sebagai ‘wayang kulit’ saja, memang terbukti bisa bertahan dari
terpaan zaman. Tetapi itu melalui proses adaptasi dan penyesuaian yang
luar biasa pula, mampu tetap memikat penontonnya dengan kreativitas sang
dalang, maupun kesediaan insan wayang untuk ‘menuruti’ selera
penontonnya. Bertemunya dua kutub tersebut, kreativitas dalang dan
selera penonton, yang memungkinkan wayang tetap digemari dari generasi
ke generasi, terlihat pada setiap pertunjukan wayang, jumlah penonton
dari kalangan muda selalu lebih banyak.
Memang ada pakem-pakem atau aturan baku
dari wayang yang harus dipatuhi. Tetapi ketaatan pada standar baku tidak
boleh kaku, tetap harus ada ‘jembatan’ agar pentonton mengerti apa yang
dimaksudkan dalam pakeliran tersebut, misalnya, caturan dalam
bahasa Kawi atau Jawa Kuno yang makin jarang orang mengetahui maknanya.
Demikian diungkapkan Ki Purbo Asmoro, dalang wayang kulit ‘Gagrak
Surakarta’ hadir sebagai pembicara pada diskusi “Wayang, Antara
Kreativitas Dalang dan Kebutuhan Penonton’ di rumah penyinden asal
Amerika Serikat, Kitsie Emerson di Kemang Utara VII -9, Jum’at
(3/5/2013).
“Kalau terlalu baku, yang mengerti hanya
dalangnya, menyenangkan hati si dalang saja dan tidak mengerti bahwa
dia itu ditonton orang,” ujarnya.
Sebagai dalang yang sudah dua puluhan
tahun berkecimpung dalam dunia pewayangan, adaptasi berbagai kreasi baru
memang semakin marak. Selera penonton pun berbeda-beda, ada yang
menyukai, misalnya, tambahan lawak dan campursari dalam pertunjukan
wayang, namun ada juga penonton yang fanatik pada gaya klasik.
Daerah seperti Purworejo, ujarnya, welcome terhadap
gaya pakeliran yang berbeda, yang meski dekat dan sangat familiar
dengan gaya Yogyakarta, tetap antusias dengan pementasan wayang gaya
Solo, saat dalang asal Pacitan tersebut pentas di alun-alun Purworejo.
Sedangkan daerah seperti Tuban dan Nganjuk merupakan daerah dengan
penonton wayang yang sangat menyukai tambahan lawak dan campursari.
“Sedangkan Sragen, itu daerah yang
seneng nanggap wayang tapi nggak ditonton. Kalau di Pati, para
penontonnya tidak pernah bertepuk tangan tidak pernah tertawa, tetapi
tidak juga mau beranjak pergi,” kata Ki Purbo tertawa.
Penambahan unsur dari luar dunia
pakeliran seperti lawak dan campursari tersebut, diakui memang bisa
ditolerir untuk dalang-dalang tertentu, tetapi ada juga yang tidak bisa
ditolerir oleh pentontonnya sendiri, yaitu untuk dalang yang memang
disukai karena ke-baku-an atau keklasikannya. Sejumlah peserta diskusi
mewakili penonton pun mengungkapkan hal serupa.
Budaya Pengisi Jatidiri dan Karakter Manusia
Yanusa Nugroho, sastrawan, mengungkapkan
wayang sebagai salahsatu khazanah milik Indonesia, seyogianya tidak
diubah-ubah yang terlalu keluar dari pakem untuk menuruti selera
penonton. Sebaliknya, dalanglah yang harus mendidik penonton dengan
nilai baku dan kreativitasnya, menampilkan nilai-nilai yang terkandung
dalam wayang agar dapat diinternalisasikan.
Wayang, ujarnya, merupakan mitologi Jawa
sebagai sumber paling dalam dan murni, sebagaimana peradaban Yunani
menjadikan mitologi mereka untuk membangun karakter, budaya dan
peradabannya sendiri. Penulis yang mengaku kesengsem dengan Ki Purbo
setelah menonton pementasan “Bargawa” tersebut, sangat mengagumi wayang
tidak hanya pada seni pakelirannya, tetapi betapa dengan wayang tersebut
dapat dengan apik digambarkan sifat-sifat manusia dengan
seluk-beluknya, yang dapat dijadikan unsur pembangun kemanusiaan.
Dari sisi pertunjukannya, Yanusa
melontarkan uneg-uneg, bisakah wayang dikenakan tiket sebagaimana
pertunjukan teater atau konser musik, yang meski tiketnya mahal tetap
diserbu penontonnya. Hal itu ia dasarkan pada pemikiran bahwa penonton
yang menyadari manfaat atau merasa butuh akan dengan sukarela
mengeluarkan uang sejumlah, misalnya Rp 50.000, untuk menonton
pertunjukan wayang.
“Contohnya teater asing dari Inggris
yang mementaskan ‘Hamlet’ pada tahun 1980-an, waktu itu kami harus
membayar Rp50.000,” ujarnya. Uang sejumlah itu pada waktu itu, bagi
golongan mahasiswa, tergolong besar, tetapi toh peonton Hamlet tetap
membludak.
Akan tetapi, ide tersebut diakuinya
memang belum tentu relevan untuk saat ini, walau di masa yang akan
datang bisa saja diterapkan, bergantun pada perkembangannya.
Diskusi yang dihadiri sekitar 50-an
penggemar wayang tersebut berlangsung hingga pukul 01 dinihari.
Dilengkapi pula dengan pementasan singkat oleh Ki Purbo Asmoro lakon
“Arjuna Wiwaha” dengan berbagai trik dan penjelasan sejumlah tatanan
baku pakeliran yang menjadi bahan diskusi malam itu.
Di akhir acara, nyonya rumah, Kitsie
Emerson yang telah merampungkan penulisan buku tentang wayang Gagrak
Solo dalam tiga gaya pakeliran (pakeliran klasik, pakeliran padat dan
pakeliran semalam suntuk) dari lakon yang dibawakan Ki Purbo Asmoro,
menghadiahkan satu set buku kepada rombongan PSMS Oye (Penggemar Sejati
Manteb Sudharsono). Buku yang dikerjakan dengan sangat teliti tersebut
diterbitkan dalam tiga bahasa: Jawa, Indonesia dan Inggris.
Fathurrahman Tekad. Penikmat Wayang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar