Berkatian dengan jenis dan tingkatan Puasa
yang diungkapkan Imam al-Ghazali dalam tulisan saya sebelumnya, salah
satu pandangan mengenai puasa yang berbeda dengan puasa kebanyakan
adalah puasa dalam pandangan para sufi. Para Sufi berpandangan bahwa
puasa adalah cara untuk menahan diri dari nafsu jasmani dan memutuskan
hasrat-hasrat duniawi yang muncul dari pengaruh bisikan-bisikan syetan
yang ditempatkan pada diri manusia.
Untuk menyikapi bisikan syetan itulah, Allah mengaruniakan hati
kepada manusia. Hati adalah termasuk bala bantuan dari Allah, tetapi
penganugrahan hati tersebut bisa saja malah bergabung dengan barisan
syetan yang nantinya hanya akan membawa manusia menuju ke jurang
kenistaan dan kehancuran.
Untuk menaklukan badan kepada jiwa, adalah perlu adanya cara yaitu
dengan jalan melemahkan kekuatan badan demi meningkatkan kekuatan jiwa,
dan hal itu telah dibuktikan dari berbagai penelitian para ahli.
Hasilnya bahwa tiada sesuatu yang semanjur ini seperti lapar dan haus,
pembuangan kemauan-kemauan hawa nafsu dan mengontrol lidah, hati
(fikiran) dan anggota-anggota lain, selain dengan jalan berpuasa. Dari
pandangan sufi ini, maka puasa memiliki fungsi untuk menghidupkan jiwa
atau hati.
Syeikh Abdul Qadir al-Jailani dalam karyanya Sirr al-Asrar
menyatakan bahwa bila seseorang berpuasa hendaknya mampu mengharmonikan
kondisi lahir dan batinnya, seperti perutnya yang dikosongkan dari makan
dan minum. Jadi harus ada keseimbangan antara puasa dari sisi syariat,
dan puasa dari sisi ruhani.
Terkait dengan pendapat itu, Ghulam Mu’inuddin mengatakan, Puasa yang
paling baik yaitu puasa dalam dimensi pikiran. Dengan kata lain, ketika
puasa tidak memikirkan apapun kecuali Allah. Puasa yang dikerjakan juga
meliputi pengendalian penglihatan dari segala pandangan yang mengarah
pada kejelekan dan menjauhkan diri dari percakapan yang tidak bermanfaat
seperti, berkata dusta, mefitnah, bicara tidak senonoh dan
tindakan-tindakan yang berpura-pura. Singkatnya, orang-orang yang
berpuasa seperti itu harus berupaya untuk berdiam diri, dan apabila
mereka berkata-kata harus yang baik-baik sehingga jalan untuk mengingat
kepada Allah semata akan lebih mudah.
Puasa dalam pandangan para sufi ini memang sangat sulit dilakukan dan
hanya orang-orang yang sudah bisa memahami ibadah bukan sebagai
perintah tetapi sudah pada taraf memahami ibadah secara hakikat, yang
bisa melakukan puasa semacam ini.
Kita sebagai manusia kebanyakan tentu masih sulit melakukan puasa
dalam pandangan para sufi ini. Hanya orang-orang tertentu yang telah
mempunyai nilai ketakwan kuat dalam hati dan tingkah laku di mana dalam
fikirannya yang ada hanya Allah semata tidak ada yang lain. Tetapi yang
demikian itu puasa yang dimaksud oleh ajaran agama. Karena dengan jalan
berpuasa yang demikian seseorang akan mampu merasakan dengan
sebenar-benarnya manfaat dari pelaksanaan puasa.
Puasa dalam pandangan para sufi ini memang sangat sulit dilakukan dan
hanya orang-orang yang sudah bisa memahami ibadah bukan sebagai
perintah tetapi sudah pada taraf memahami ibadah secara hakikat, yang
bisa melakukan puasa semacam ini.
Kita sebagai manusia kebanyakan tentu masih sulit melakukan puasa
dalam pandangan para sufi ini. Hanya orang-orang tertentu yang telah
mempunyai nilai ketakwan kuat dalam hati dan tingkah laku di mana dalam
fikirannya yang ada hanya Allah semata tidak ada yang lain. Tetapi yang
demikian itu puasa yang dimaksud oleh ajaran agama. Karena dengan jalan
berpuasa yang demikian seseorang akan mampu merasakan dengan
sebenar-benarnya manfaat dari pelaksanaan puasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar