Seandainya Politikus Belajar dari Wayang Kulit
“Siapa yang tidak mengenal wayang kulit, wayang kulit merupakan
salah Mahakarya seni pertunjukan di Indonesia khususnya Jawa. Wayang
kulit yang sudah menjadi satu dalam sosiokultur dan keyakinan (religi)
bangsa Indonesia, membuat wayang kulit sangat digemari karena isi wayang
kulit yang penuh akan nilai-nilai pendidikan moral dalam bermasyrakat,
berbangsa dan bernegara”.
Sejarah Wayang Kulit
WAYANG salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling
menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi
seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis,
seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus
berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah,
pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.
Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia
Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia
Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan
filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan.
Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari
salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang
bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam_
pewayangan sengaja diciptakan para budayawan Indonesia (tepatnya
budayawan Jawa) untuk memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini
tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat.
Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.
Mengenai asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat. Pertama,
pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa,
tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh
para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil
penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang
termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.
Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat
erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia,
khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan,
yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan
Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis
pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa
lain.
Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang
dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain
adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian
besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang
pernah menjajah India.
Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain.
Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain.
Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada
zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni
ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya. Karya sastra
yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga
Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana
Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah
Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan
pujangga India, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi
hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi
menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa
kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang
merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang
lebih nyata bedanya dengan cerita asli versi India, adalah Baratayuda
Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan
pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 – 1160).
Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada
sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat
pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata “mawayang” dan
`aringgit’ yang maksudnya adalah pertunjukan wayang.
Kata `wayang’ diduga berasal dari kata `wewayangan’, yang artinya
bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang
Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara
dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton
hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh
pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh
seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis
seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu
diduga belum ada.
Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan
Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada
Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah ceritacerita Panji;
yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan
sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian
lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi
menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di
antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja
Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.
Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada
Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah
masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk
tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut
hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai
dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan
cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada
lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari
cerita pakem.
Lakon Utama
Secara umam lalon yang dimainkan dalam wayang kulit
adalah Mahabarata dan Ramayana. Tetapi tidak dibatasi dengan pakem
standar tersebut, dalang juga memainkan lakon carangan (gubahan).
Beberapa diantaranya Cerita Panji.
Lakon Mahabarata mengisahkan permusuhan antara Pandawa dan Kurawa
dalam perebutan Kerajaan astina. Pandawa dan Kurawa sama-sama mengklaim
bahwa merekalah yang berhak atas tahta kerejaan astina. Walaupun
sebenarnya yang paling berhak atas kerajaan adalah Pandawa. Mereka
saling permusuhan dan selalu dimenangkan Pandawa. Untuk mengakhiri
permusuhan tersebut kerajaan dipecah menjadi dua.
Lakon Ramayana mengisahkan Sri Rama dan Dewi Sinta
perjuangan keduanya dalam menjalani asmara yang sejati. Karena kisah
asmara mereka mendapatkan berbagai ujian. Diculiknya Dewi Sinta oleh
Rahwana untuk dibawa ke kerajaan Ngalengka untuk dijadikan istri.
Tetapi, meskipun rayuan dari Rahwana tidak dapat menggoyahkan pendirian
dari Dewi Sinta yang tetap tresna (Cinta) kepada Sri Rama. Sri Rama yang
marah karena istrinya diculik, dengan bantuan Anoman (kera putih) dan
pasukan kera berhasil mengalahkan Rahwana dan menyelamatkan Dewi Sinta.
Inti dari dua lakon utama wayang kulit Mahabarata dan Ramayana adalah
tentang kebaikan yang mengalahkan angkara mungkar. Lakon utama hanyalah
standarisasi tokoh-tokoh dalam pementasan wayang kulit. Di bawah Lakon
utama ada lakon gubahan, seperti penjelasan atas tadi.
Filosofi Wayang Kulit
Wayang Kulit memiliki banyak filosofi yang dapat dipelajari oleh
kita. Filosofi wayang kulit ada bukan hanya saat pertunjukan saja,
tetapi sebelum pertunjukan dimulaipun ada filosofi yang dapat diambil.
Lihatlah wayang yang berjajar di depan sebelum pementasan dimulai.
Wayang selalu dijajarkan sesuai peran wayang tersebut. Peran wayang yang
berwatak jahat (Butho), selalu diletakkan di pinggir jauh dari dalang.
Sementara wayang yang berwatak baik dan bijaksana akan diletakkan berada
di dekat dalang. Bila kita iteroretasikan pada kehidupan kita bahwa
orang-orang yang baik dan bijaksana selalu akan dekat kepada Tuhan,
sementara orang yang berwatak jahat akan menjauh dari Tuhan. Sehingga
mengajarkan kita untuk selalu baik dan bjaksana.
Cerita pewayangan menggambarkan pandangan tentang konsep mahkluk
Tuhan. Para tokoh wayang diibaratkan manusia dalam dunia nyata. Manusia
bukan sesuatu yang bebas dari salah.
tokoh wayang menggambarkan perilaku manusia yang kadang-kadang keliru
dan bisa saja khilaf. Tokoh punakawan diciptakan oleh budayawan jawa
untuk memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk
yang benar-benar baik dan benar-benar salah. Setiap makhluk selalu
menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.
Tokoh punakawan yang muncul dalam pertunjukan wayang kulit,
melambangkan rakyat atau kawula alit. Hal tersebut berdasarkan anggapan
atau suatu faham yang kuat dan mendalam diantara masyarakat jawa,
meskipun jarang terungkap; bahwa hanya rakyatlah yang merupakan sumber
kekuatan yang sebenarnya, kesuburan, dan kebijaksanaan masyarakat Jawa,
bukan lingkungan kraton. Sebagaimana para punakawan rela menjadi abdi
yang rendah para bendara (Tuan) mereka yang luhur; begitu pula rakyat
Jawa pun menerima kedudukan sederhana itu. Tetapi jika para Pandawa
melupakan para panakawan, pasti akan terkena marabahaya atau malapetaka.
Rakyat juga berharap para pemimpin tidak melupakan rakyat, karena
berkat rakyatlah para pemimpin dapa menikmati kedudukannya. Kekuatan
raja atau pemimpin tidak berarti apa-apa jika terpisah dari rakyat,
karena hanya rakyatlah sumber kekuatan di dalam masyarakat.
Pandam Guritno (1976)[1]
menyatakan bahwa panakawan dalam pewayangan merupakan pengejawatan
sifat, watak, manusia dengan lambangnya masing-masing, yaitu:
Semar lambang karsa (kehendak atau niat),
Gareng lambang Cipta (pikiran, rasio, nalar),
Petruk lambang rasa (perasaan),
Bagong lambang karya (usaha, perilaku, perbuatan).
Dengan kata lain bahwa panakawan yang berjumlah empat itu
melambangkan cipta-rasa-karsa dan karya manusia. Jadi panakawan ( pana
‘tahu’ terhadap empat tersebut, dan kawan ‘teman’ manusia hidup di
dunia).
Falsafah Wayang Kulit
Kita ketahui bahwa yang disampaikan dalam wayang
kulit ingin mengajak manusia dalam menjalani kehidupan di muka bumi
sebagai makhluk sosial. Wayang kulit menyampaikan bahwa kebaikan selalu
dapat mengalahkan keburukan. penyampaian etika, norma, kebenaran, moral,
maupun kejujuran dalam wayang kulit kepada manusia, agar manusia
mendapat ketenangan dan kenyamanan hidup.
Misalnya dalam epos Mahabarata, terdapat kelompok Pandhawa yang
mewakili nilai-nilai kebaikan serta Kurawa yang disimbolkan sebagai
pemuja hawa nafsu dan angkara murka. Pemberian simbol-simbol (penanda)
tersebut bertujuan sebagai kontrol masyarakat. Masyarakat akan melakukan
hal-hal yang baik agar tidak dikategorikan sebagai kurawa yang berwatak
tamak.
Pemasukan yang dilakukan wayang dalam pemberian nasehat dalam
mejalani kehidupan seperti : Nrimo ing pandum (menerima apa adanya),
memeyu hayuning bawana (menjadikan dunia sejahtera), jer basuki mawa bea
( kebahagiaan butuh pengorbanan), dan kautamaning urip (menjadi manusia
yang utama).
Politik Wayang Indonesia
Wayang kulit telah memberikan gambaran dan pelajaran dalam menjalani
hidup dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam hal bernegara
(politik) wayang kulit memberikan pelajaran dalam cerita Mahabarata
bahwa ketamakan dalam mengejar kekuasaan yang dilakukan oleh Kurawa akan
hancur atau dikalahkan kebenaran yang diwakili oleh Pandawa.
Para politikus di Indonesia nampaknya telah banyak belajar dari salah
satu tokoh dalam pewayang Mahabarata yaitu Sengkuni. Sengkuni merupakan
Patih dari kerajaan Astina, sebuah negara yang dipimpin oleh Kurawa.
Badannya kurus, mukanya pucat kebiru-biruan seperti pecandu. cara
bicaranya “klemak-klemek” terkesan menjengkelkan.
Para politikus di negara kita cenderung berbuat licik, munafik,
senang menfitnah, senang menghasut, senang mencela orang lain dan iri
hati seperti watak sengkuni. Sengkuni juga dikenal dikenal juga sebagai
pengemong atau penasihat, terutama hal-hal pemerintahan bagi para Kurawa
dalam memerintah Astinapura. Bila kita umpamakan Sengkuni sebagai
politikus dan para Kurawa sebagai pemerintah. Pola pikir politikus yang
seperti Sengkuni yang mempengaruhi (ngemong) pemerintah (para kurawa)
dalam mememerintah negara Indonesia. Sifat yang hanya mementingkan diri
sendiri atau kelompok untuk memerintah negara, dapat disimpulkan akan
dapat menghancurkan negara.
Di sisi gelap jiwa Sengkuni menyimpan suatu dorongan sadis “biarlah
orang lain menderita”. Di mana pun juga, kita akan menemukan orang-orang
yang mempunyai kecenderungan kasar yang ingin mempertahankan dirinya,
tetapi orang lain harus dikorbankan. Tidak seorangpun ingin disamakan
dengan sengkuni yang berwatak seperti itu.
Rendahnya politikus dalam memahami etika, norma, kebenaran, moral dan
kejujuran seperti yang ada dalam wayang nampaknya telah melahirkan
sengkuni-sengkuni baru di era modern.
Maka jangan kaget jika muncul pemimpin-pemimpin seperti sengkuni,
bahkan ada sengkuni-sengkuni disekeliling kita yang menduduki jawabatan
kepemimpinan dan hanya mementingkan kelompok, tidak mempunyai jiwa
pemimpin. Lalu kita menerima sebagai hal yang lumrah atau normal, dan
tidak ada keterkejutan.
Pergeseran dalam masyarakat dalam hal kesakralan, sekarang harta
benda lebih penting dari segala di dunia. Semua urusan dihitung uang,
membuat orang berlomba-lomba mendapatkan sebanyak-banyaknya tanpa
memperdulikan orang-orang disekitarnya. Saat semua hanya mementingkan
diri mereka dan kelompok inilah yang memunculkan sengkuni-sengkuni.
Sengkuni dianggap menjadi panutan dan Pandawa menjadi musuh, karena
Pandawa yang memiliki sifat adil, bijak dan kejujuran. Sikap yang
seperti itu akan dianggap oleh sengkuni-sengkuni baru sebagai hambatan
untuk mencapai keinginan mereka, sehingga harus disingkirkan. Semuanya
menjadi serba terbalik. Mungkinkah suatu saat muncul Pandawa-padawa yang
akan mengalahkan Sengkuni dan Kurawa yang sedang berkuasa sekarang ini.
Daftar Pustaka
- Sutardjo. Sejarah Wayang Purwa. Panji Pustaka: Yogjakarta.
- Imam Sutardjo. Serpihan Mutiara Pertunjukan Wayang. Penerbit Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS: Surakarta. 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar