• Pagelaran Wayang Kulit
  • Dalang Tribasa
  • Pakeliran Wayang Purwa
  • Dalang Tribasa
  • Dalang Intertain
  • Tri Bayu Santoso
  • Dalang Inovatif
  • Pelaku Budaya
  • Youtube
  • Facebook
  • Twitter
  • Blogger
  • Saoundcould
  • Foursquare
  • Instagram
  • Pagelaran Wayang Kulit

Minggu, 08 September 2013

Politik Dan Wayang Kulit



Seandainya Politikus Belajar dari Wayang Kulit
“Siapa yang tidak mengenal wayang kulit, wayang kulit merupakan salah Mahakarya seni pertunjukan di Indonesia khususnya Jawa. Wayang kulit yang sudah menjadi satu dalam sosiokultur dan keyakinan (religi) bangsa Indonesia, membuat wayang kulit sangat digemari karena isi wayang kulit yang penuh akan nilai-nilai pendidikan moral dalam bermasyrakat, berbangsa dan bernegara”.

Sejarah Wayang Kulit
WAYANG salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.
Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia
Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para budayawan In­donesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk mem­perkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.
Mengenai asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.
Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.
Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.
Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pe­wayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain.
Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indo­nesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmur­nya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga In­dia, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya dengan cerita asli versi In­dia, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 – 1160).
Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata “mawa­yang” dan `aringgit’ yang maksudnya adalah per­tunjukan wayang.
Kata `wayang’ diduga berasal dari kata `wewa­yangan’, yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga belum ada.
Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah cerita­cerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.
Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.
Lakon Utama
Secara umam lalon yang dimainkan dalam wayang kulit adalah Mahabarata dan Ramayana. Tetapi tidak dibatasi dengan pakem standar tersebut, dalang juga memainkan lakon carangan (gubahan). Beberapa diantaranya Cerita Panji.
Lakon Mahabarata mengisahkan permusuhan antara Pandawa dan Kurawa dalam perebutan Kerajaan astina. Pandawa dan Kurawa sama-sama mengklaim bahwa merekalah yang berhak atas tahta kerejaan astina. Walaupun sebenarnya yang paling berhak atas kerajaan adalah Pandawa. Mereka saling permusuhan dan selalu dimenangkan Pandawa. Untuk mengakhiri permusuhan tersebut kerajaan dipecah menjadi dua.
Lakon Ramayana mengisahkan Sri Rama dan Dewi Sinta perjuangan keduanya dalam menjalani asmara yang sejati. Karena kisah asmara mereka mendapatkan berbagai ujian. Diculiknya Dewi Sinta oleh Rahwana untuk dibawa ke kerajaan Ngalengka untuk dijadikan istri. Tetapi, meskipun rayuan dari Rahwana tidak dapat menggoyahkan pendirian dari Dewi Sinta yang tetap tresna (Cinta) kepada Sri Rama. Sri Rama yang marah karena istrinya diculik, dengan bantuan Anoman (kera putih) dan pasukan kera berhasil mengalahkan Rahwana dan menyelamatkan Dewi Sinta.
Inti dari dua lakon utama wayang kulit Mahabarata dan Ramayana adalah tentang kebaikan yang mengalahkan angkara mungkar. Lakon utama hanyalah standarisasi tokoh-tokoh dalam pementasan wayang kulit. Di bawah Lakon utama ada lakon gubahan, seperti penjelasan atas tadi.
Filosofi Wayang Kulit
Wayang Kulit memiliki banyak filosofi yang dapat dipelajari oleh kita. Filosofi wayang kulit ada bukan hanya saat pertunjukan saja, tetapi sebelum pertunjukan dimulaipun ada filosofi yang dapat diambil.
Lihatlah wayang yang berjajar di depan sebelum pementasan dimulai. Wayang selalu dijajarkan sesuai peran wayang tersebut. Peran wayang yang berwatak jahat (Butho), selalu diletakkan di pinggir jauh dari dalang. Sementara wayang yang berwatak baik dan bijaksana akan diletakkan berada di dekat dalang. Bila kita iteroretasikan pada kehidupan kita bahwa orang-orang yang baik dan bijaksana selalu akan dekat kepada Tuhan, sementara orang yang berwatak jahat akan menjauh dari Tuhan. Sehingga mengajarkan kita untuk selalu baik dan bjaksana.
Cerita pewayangan menggambarkan pandangan tentang konsep mahkluk Tuhan. Para tokoh wayang diibaratkan manusia dalam dunia nyata. Manusia bukan sesuatu yang bebas dari salah.
tokoh wayang menggambarkan perilaku manusia yang kadang-kadang keliru dan bisa saja khilaf. Tokoh punakawan diciptakan oleh budayawan jawa untuk memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik dan benar-benar salah. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.
Tokoh punakawan yang muncul dalam pertunjukan wayang kulit, melambangkan rakyat atau kawula alit. Hal tersebut berdasarkan anggapan atau suatu faham yang kuat dan mendalam diantara masyarakat jawa, meskipun jarang terungkap; bahwa hanya rakyatlah yang merupakan sumber kekuatan yang sebenarnya, kesuburan, dan kebijaksanaan masyarakat Jawa, bukan lingkungan kraton. Sebagaimana para punakawan rela menjadi abdi yang rendah para bendara (Tuan) mereka yang luhur; begitu pula rakyat Jawa pun menerima kedudukan sederhana itu. Tetapi jika para Pandawa melupakan para panakawan, pasti akan terkena marabahaya atau malapetaka. Rakyat juga berharap para pemimpin tidak melupakan rakyat, karena berkat rakyatlah para pemimpin dapa menikmati kedudukannya. Kekuatan raja atau pemimpin tidak berarti apa-apa jika terpisah dari rakyat, karena hanya rakyatlah sumber kekuatan di dalam masyarakat.
Pandam Guritno (1976)[1] menyatakan bahwa panakawan dalam pewayangan merupakan pengejawatan sifat, watak, manusia dengan lambangnya masing-masing, yaitu:
Semar lambang karsa (kehendak atau niat),
Gareng lambang Cipta (pikiran, rasio, nalar),
Petruk lambang rasa (perasaan),
Bagong lambang karya (usaha, perilaku, perbuatan).
Dengan kata lain bahwa panakawan yang berjumlah empat itu melambangkan cipta-rasa-karsa dan karya manusia. Jadi panakawan ( pana ‘tahu’ terhadap empat tersebut, dan kawan ‘teman’ manusia hidup di dunia).
Falsafah Wayang Kulit
Kita ketahui bahwa yang disampaikan dalam wayang kulit ingin mengajak manusia dalam menjalani kehidupan di muka bumi sebagai makhluk sosial. Wayang kulit menyampaikan bahwa kebaikan selalu dapat mengalahkan keburukan. penyampaian etika, norma, kebenaran, moral, maupun kejujuran dalam wayang kulit kepada manusia, agar manusia mendapat ketenangan dan kenyamanan hidup.
Misalnya dalam epos Mahabarata, terdapat kelompok Pandhawa yang mewakili nilai-nilai kebaikan serta Kurawa yang disimbolkan sebagai pemuja hawa nafsu dan angkara murka. Pemberian simbol-simbol (penanda) tersebut bertujuan sebagai kontrol masyarakat. Masyarakat akan melakukan hal-hal yang baik agar tidak dikategorikan sebagai kurawa yang berwatak tamak.
Pemasukan yang dilakukan wayang dalam pemberian nasehat dalam mejalani kehidupan seperti : Nrimo ing pandum (menerima apa adanya), memeyu hayuning bawana (menjadikan dunia sejahtera), jer basuki mawa bea ( kebahagiaan butuh pengorbanan), dan kautamaning urip (menjadi manusia yang utama).
Politik Wayang Indonesia
Wayang kulit telah memberikan gambaran dan pelajaran dalam menjalani hidup dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam hal bernegara (politik) wayang kulit memberikan pelajaran dalam cerita Mahabarata bahwa ketamakan dalam mengejar kekuasaan yang dilakukan oleh Kurawa akan hancur atau dikalahkan kebenaran yang diwakili oleh Pandawa.
Para politikus di Indonesia nampaknya telah banyak belajar dari salah satu tokoh dalam pewayang Mahabarata yaitu Sengkuni. Sengkuni merupakan Patih dari kerajaan Astina, sebuah negara yang dipimpin oleh Kurawa. Badannya kurus, mukanya pucat kebiru-biruan seperti pecandu. cara bicaranya “klemak-klemek” terkesan menjengkelkan.
Para politikus di negara kita cenderung berbuat licik, munafik, senang menfitnah, senang menghasut, senang mencela orang lain dan iri hati seperti watak sengkuni. Sengkuni juga dikenal dikenal juga sebagai pengemong atau penasihat, terutama hal-hal pemerintahan bagi para Kurawa dalam memerintah Astinapura. Bila kita umpamakan Sengkuni sebagai politikus dan para Kurawa sebagai pemerintah. Pola pikir politikus yang seperti Sengkuni yang mempengaruhi (ngemong) pemerintah (para kurawa) dalam mememerintah negara Indonesia. Sifat yang hanya mementingkan diri sendiri atau kelompok untuk memerintah negara, dapat disimpulkan akan dapat menghancurkan negara.
Di sisi gelap jiwa Sengkuni menyimpan suatu dorongan sadis “biarlah orang lain menderita”. Di mana pun juga, kita akan menemukan orang-orang yang mempunyai kecenderungan kasar yang ingin mempertahankan dirinya, tetapi orang lain harus dikorbankan. Tidak seorangpun ingin disamakan dengan sengkuni yang berwatak seperti itu.
Rendahnya politikus dalam memahami etika, norma, kebenaran, moral dan kejujuran seperti yang ada dalam wayang nampaknya telah melahirkan sengkuni-sengkuni baru di era modern.
Maka jangan kaget jika muncul pemimpin-pemimpin seperti sengkuni, bahkan ada sengkuni-sengkuni disekeliling kita yang menduduki jawabatan kepemimpinan dan hanya mementingkan kelompok, tidak mempunyai jiwa pemimpin. Lalu kita menerima sebagai hal yang lumrah atau normal, dan tidak ada keterkejutan.
Pergeseran dalam masyarakat dalam hal kesakralan, sekarang harta benda lebih penting dari segala di dunia. Semua urusan dihitung uang, membuat orang berlomba-lomba mendapatkan sebanyak-banyaknya tanpa memperdulikan orang-orang disekitarnya. Saat semua hanya mementingkan diri mereka dan kelompok inilah yang memunculkan sengkuni-sengkuni. Sengkuni dianggap menjadi panutan dan Pandawa menjadi musuh, karena Pandawa yang memiliki sifat adil, bijak dan kejujuran. Sikap yang seperti itu akan dianggap oleh sengkuni-sengkuni baru sebagai hambatan untuk mencapai keinginan mereka, sehingga harus disingkirkan. Semuanya menjadi serba terbalik. Mungkinkah suatu saat muncul Pandawa-padawa yang akan mengalahkan Sengkuni dan Kurawa yang sedang berkuasa sekarang ini.
Daftar Pustaka
  1. Sutardjo. Sejarah Wayang Purwa. Panji Pustaka: Yogjakarta.
  2. Imam Sutardjo. Serpihan Mutiara Pertunjukan Wayang. Penerbit Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS: Surakarta. 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar