• Pagelaran Wayang Kulit
  • Dalang Tribasa
  • Pakeliran Wayang Purwa
  • Dalang Tribasa
  • Dalang Intertain
  • Tri Bayu Santoso
  • Dalang Inovatif
  • Pelaku Budaya
  • Youtube
  • Facebook
  • Twitter
  • Blogger
  • Saoundcould
  • Foursquare
  • Instagram
  • Pagelaran Wayang Kulit

Selasa, 09 April 2013

Jadwal Pentas Wayang kulit Tribasa


Jadwal Pentas Wayang Kulit Ki Tri Bayu Santoso ( Tribasa ) Untuk bulan Mei dan Juni 2013
Readmore >>>

Selasa, 30 Oktober 2012

Wayang Kulit Di Akui Unesco



I. Wayang Kulit Masuk Situs Dunia
"Dari 936 daftar situs warisan dunia yang diakui UNESCO, ada sepuluh situs dunia yang patut dikunjungi kaum muda"
National Geographic Travel " membuat daftar dari 936 daftar situs warisan dunia yang diakui UNESCO, ada sepuluh situs dunia yang patut dikunjungi kaum muda. Salah satunya ialah pertunjukkan Wayang Kulit yang berasal dari Indonesia.

II.Wayang Kulit Di Akui Dunia 
" UNESCO pada tanggal 7 November 2003 telah MENETAPKAN bahwa WAYANG KULIT adalah warisan budaya dunia yang BERASAL DARI INDONESIA .
Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata I Gede Ardika mengungkapkan, sejak 7 November 2003 lalu Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO) telah mengakui wayang sebagai World Master Piece of Oral and Intangible Heritage of Humanity.
Kita sebagai bangsa harus ikut bangga karena kebudayaan kita telah di akui oleh DUNIA  dan jangan sampai nantinya di akui oleh negara lain, Dan tetap bertahan hingga ahir dunia
Readmore >>>

Senin, 27 Agustus 2012

Wayang Kulit - Seni Pertunjukan Indonesia Yang Mendunia


Festival di Indonesia beragam dan beraneka warna. Festival ini menarik banyak wisatawan dari seluruh penjuru dunia. Pergelaran Wayang Kulit merupakan salah satu event yang paling populer di Indonesia.
Wayang Kulit populer di jawa, Bali dan tempat lain di Indonesia. Kata 'wayang' berarti bayangan atau imajinasi dan 'kulit' berarti kulit yang merupkan bahan pembuat wayang. Wayang Kulit selain sebagai hiburan juga merupakan atraksi budaya. Wayang di Indonesia dianggap sebagai salah satu bentuk lampau animasi khas Indonesia. Budaya Indonesia tercermin dalam pertunjukan wayang yang berfungsik sebagai penyebar mitos, penyampai pesan moral, dan sebagai bentuk pengalaman spiritual, semua berbaur menjadi satu. Wayang juga dipahami memiliki kekuatan spiritual yang besar, dan "dihidupkan" melalui upacara khusus yang dilaksanakan oleh sang penutur cerita yang dikenal sebagai “Dalang”. Dalang adalah orang dengan bakat serbabisa. Dia harus memiliki perbendaharaan ratusan cerita, mampu bermain musik, memiliki pesona dalam hal kecakapan memainkan pertunjukan, mampu menjalankan ritual penting yang suci, dan juga tahu bagaimana membuat  wayang kulit yang berpola rumit.

Cerita-cerita yang dikisahkan dalam Wayang Kulit adalah kisah-kisah yang memuat mitos & moralitas. Cerita-cerita ini umumnya mencerminkan budaya yang kaya, beraneka warna dan beragam di Indonesia. 

Dalang dengan bantuan dari wayang menceritakan alur cerita dan memperindah tema universal dengan cara improvisasi dan refleksi dari kejadian penting di desa setempat (bahkan kejadian dalam skala nasional) atau kejadian yang sedang hangat menjadi buah bibir masyarakat. Umumnya Wayang Kulit merupakan pertunjukan humor untuk membuat penonton tertawa. Tetapi, tujuan utama di balik Wayang Kulit adalah untuk mendidik dan menghibur penonton pada saat yang bersamaan.

Penggambaran yang baik dan jahat, dengan yang baik selalu menang, meskipun yang jahat tidak pernah hancur merupakan tema dasar di balik pertunjukan. Wayang Kulit umumnya diselenggarakan saat upacara keagamaan, acara keluarga, dan perayaan di desa-desa, atau diadakan hanya sebagai bentuk hiburan biasa. Pergelaran Wayang Kulit ada yang diadakan semalam suntuk, terkadang sampai enam jam atau sampai subuh. Setiap aspek dari Wayang Kulit memiliki nilai mistis, simbolisme, dan makna esoteris. Wayang Kulit ditetapkan oleh UNESCO sebagai Seni Tutur Agung dan Warisan Budaya Tak Wujud pada 7 November 2003.

Wayang Kulit adalah pertunjukan yang sangat berwarna dan populer tidak hanya di Jawa dan Bali, tapi di seluruh Indonesia. Anda pasti akan menikmatinya, jika Anda menontonnya.

" Bagaimana Dengan Kita Orang Indonesia........."

Readmore >>>

Suluk


Suluk di Nusantara tidak terlepas dari pengaruh ajaran para penyebar dan pemimpin agama Islam (khususnya Jawa), yang notabene adala Waliyullah. Mereka adalah orang2 yang tekun mengamalkan dan mengajarkan Suluk (Tasawuf). Zaman itu adalah zaman ketika tasawuf menjadi ajaran pokok di setiap pesantren2 yang menjadi basis pergerakan para wali.

Suluk dipahami sebagai tembang (pupuh) yang berisi ajaran Tarekat, sedangkan Tarekat dipahami sebagai ajaran yang mengatur tata cara dzikir yang terikat dengan guru pertama yang mengajarkan metode itu.

Dalam perjalanannya, Suluk di tanah Jawa berkembang menjadi dua model: Tarekat dan Suluk. Tarekat kemudian diidentikkan dengan ajaran2 tasawuf yang ditulis dalam bentuk prosa, dan suluk diidentikan dengan ajaran2 tasawuf yang ditulis dalam bentuk pupuh dan kidung.

Kalau di Pedalangan Suluk : diartikan sebagai nyanyian puitis seorang dalang melukiskan suasana, misal ooong, bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap katon, kenya ilang wewadine, wadananira kumel kusem ilang rahnya para tani....ooooong...

"Suluk adalah Jalan Spirituil Thoriqoh yang tersirat untuk para orang-orang Salik".

Salik adalah orang yang melakoni suatu thoriqoh ( Tarekat Tasawuf ).

Dan upaya menyiarkan/berdakwah digunakan budaya lokal yang sudah kental di daerah tersebut.
Karena dahulu tanah jawa mayoritas beragama hindu dan budha maka ada pencampuran dengan budaya lokal,  agama sebelumnya, dan agama baru yang dibawa wali songo (Islam)

Sehingga Suluk dipakai Seorang Dalang dalam pagelaran Wayang Kulit ,yang nyata dalam pagelaran wayang kulit suluk disuarakan oleh dalang dengan mengutamakan Mutu Suara,sehingga selaras dengan Cerita yang dipertunjukan,tak heran jika baik buruknya penampilan dalang juga dinilai dari Suara Suluknya
Readmore >>>

Jumat, 17 Agustus 2012

Wayang, Media Pendidik Karakter Bangsa


 Dewasa ini, Pendidikan karakter menjadi pembicaraan yang menarik di kalangan praktisi pendidikan. Pendidikan ini dimunculkan karena adanya ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan pendidikan, khususnya terhadap kualitas karakter output sekolah. Pendidikan yang sekarang dinilai gagal menciptakan manusia yang berkarakter karena terlalu fokus terhadap peningkatan pengetahuan dan terlalu menonjolkan kecerdasan berpikir. Namun lemah dalam kecerdasan budi dan batin sehingga tidak bisa berkembang menjadi bangsa yang berbudi luhur. Hal inilah yang menyebabkan kerusakan moral semakin meningkat meskipun pendidikan sudah bisa dikecap oleh  semua kalangan. 

Nation and charakter building atau yang lebih dikenal dengan pendidikan karakter merupakan istilah yang sebenarnya sudah klasik dalam sejarah bangsa Indonesia. Istilah yang muncul ketika peristiwa Sumpah Pemuda ini mendadak popular kembali tahun 2010 sebagai tahun kebangkitan pendidikan karakter. Pendidikan ini bertujuan untuk membentuk karakter anak didik  yang bermoral, beretika, serta berbudi luhur sekaligus  mampu untuk bersaing di kancah internasional.
Sekarang, pendidikan karakter mulai digalakkan di sekolah-sekolah. Namun timbul sebuah masalah yaitu kurangnya media pembelajaran karakter. Media adalah alat yang digunakan oleh guru untuk membelajarkan karakter pada siswa. Media ini sangat dibutuhkan karena membantu siswa memahami serta melaksanakan karakter yang telah disampaikan oleh guru.
Solusi dari kurangnya media pembelajaran ini sebenarnya ada dihadapan kita, yaitu wayang.  Wayang adalah warisan budaya nenek moyang yang mengandung pesan-pesan moral yang sangat bagus bagi kehidupan. Dalam cerita pewayangan terselip  nilai-nilai kebaikan serta nilai kepahlawanan yang sangat baik untuk dijadikan teladan dalam membelajarkan karakter pada siswa. 

Penggunaan wayang sebagai media pembelajaran dilakukan melalui kegiatan bercerita. Perlu diketahui bahwa wayang disini bukan dalam arti fisik (baca: wayang kulit), melainkan dalam bentuk nonfisik (baca: cerita). Guru cukup menceritakan kisah pewayangan yang mengandung nilai kebaikan serta mengajarkan karakter tokoh wayang tersebut untuk diteladani oleh siswa. Misalnya kisah  tentang Yudistira, kakak pertama Pandawa,  yang memiliki sifat yang bijaksana, bertanggung jawab, dan berjiwa pemimpin. Dengan peramtara cerita wayang ini, siswa bisa belajar berbagai karakter wayang yang pantas hingga yang kurang pantas diteladani sekaligus memupuk pengetahuan tentang khasanah budaya Indonesia.
Ada beberapa kelebihan yang dimiliki oleh wayang sebagai media pendidikan karakter. Pertama, wayang bersifat acceptable. Artinya, wayang sendiri  merupakan bagian dari khasanah kebudayaan bangsa sehingga bisa diterima oleh semua kalangan, baik oleh guru maupun siswa. Kedua, wayang bersifat timeless yang berarti tak lekang oleh waktu. Cerita pewayangan adalah cerita yang memiliki kesamaan dari waktu ke waktu. Adanya sifat ini membuat wayang sebagai media pembelajaran karakter dapat digunakan secara turun temurun pada generasi pelajar selanjutnya. Ketiga, media wayang ini tidak membutuhkan banyak biaya seperti media lain serta praktis dan efisien. Bercerita tentang wayang tidak membutuhkan fasilitas penunjang dalam bentuk apapun. Yang dibutuhkan hanyalah kemampuan guru dalam mengekpresikan cerita tersebut dalam kalimat yang apik agar mudah dimengerti oleh siswa.
Wayang adalah warisan budaya nasional yang patut dilestarikan oleh bangsa Indonesia. Penggunaannya sebagai media pendidikan karakter menjadi  komponen pendukung pembentukan karakter anak bangsa sekaligus mempertahankan eksistensinya sebagai budaya bangsa.(kompasiana : Hilmia Wardani )



Readmore >>>

Kamis, 16 Agustus 2012

Dalang Sebaiknya Pakai Bahasa Indonesia


Jakarta - Peminat wayang yang mulai menurun kemungkinan disebabkan oleh bahasa pengantar yang sulit dimengerti, terutama untuk generasi muda.

Turunnya minat akan kesenian wayang itu dikhawatirkan bisa menghambat renegerasi penonton wayang, karena masyarakat banyak yang tidak mengerti bahasa pengantar yang diucapkan oleh dalang.
Bahasa yang sering digunakan oleh para dalang adalah bahasa Jawa, sedangkan yang mengerti bahasa jawa tidak begitu banyak, terlebih untuk generasi muda.

“Penonton sepi bukan karena dalangnya siapa, melainkan bahasa yang digunakan oleh dalang kurang dipahami generasi muda, yang cenderung lebih banyak memakai bahasa Inggris,” jelas Subagyo Partodoharjo, Penasehat Pepadi, dan juga pengamat wayang.

Subagyo yang juga pemrakarsa Pedalangan Nusantara, menyampaikan hal tersebut dalam diskusi perkembangan seni budaya wayang di Jakarta, yang diadakan oleh PT Bank Central Asia Tbk (BCA), bekerja sama dengan Persatuan Perdalangan Indonesia (Pepadi) di Hotel Santika Jakarta hari ini.
“Contohnya di Jawa Timur, sekarang ini bila ada pertunjukan wayang kulit semalam suntuk, maka sejak sore warga berduyun-duyun datang ke lokasi. Sebab, ada musik dangdut campursari. Saat wayang mulai main, mereka satu persatu menghilang sehingga penonton jadi sepi,” ungkapnya

Menurut dia, wayang tanpa pergelaran akan mati, dan pergelaran tanpa penonton pun bisa punah.
Seiring berjalannya waktu, katanya, orang-orang yang terlibat di dalam wayang bertambah tua. Dalang-dalang senior makin sepuh dan akhirnya wafat. Penabuh gamelan dan sinden pun begitu. Bagaimana dengan penonton?

Dalam era globalisasi ini, lanjut Subagyo yang juga anggota DPR-RI Komisi IX, penonton fanatik wayangpun semakin tua dan banyak yang meninggal dunia. Sementara generasi muda Jawa mengalami berbagai perubahan.

Perubahan tersebut, ujarnya, antara lain generasi muda Jawa makin tidak mengerti bahasa Jawa, malah lebih banyak pakai bahasa asing. Itu karena bahasa Jawa kian jarang digunakan di rumah, dalam masyarakat, di kantor, dan sekolah.
Selain itu masyarakat berkenalan dengan jenis kesenian baru yang mudah dinikmati dan berdurasi pertunjukan pendek. Sementara penonton Jawa makin tidak tertarik wayang, karena kesulitan bahasa dan kendala waktu, masyarakat luar Jawa pun tidak tertarik pada wayang.

Untuk itu, kata Subagyo, perlu ada inovasi dalam pertujukan wayang. Misalnya, dalang dengan bahasa Indonesia, agar bisa dimengerti oleh seluruh masyarakat dari daerah mana saja. Musik pengiringnya pun ditampilkan sedikit heboh agar penonton tertarik.

“Kami juga meminta kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar memasukkan wayang dan dalang dalam kurikulum pelajaran kesenian dan budi pekerti. Saat ini masih didiskusikan,” katanya.
Bila wayang ditampilkan dalam bahasa Indonesia dan durasi pertunjukannya diperpendek menjadi 2 jam saja, tambah Subagyo, maka dia optimistis wayang akan disukai oleh banyak orang.

“Kalau wayang dalam bahasa Indonesia, maka bisa jadi nantinya akan banyak dalang dari daerah lain. Bisa jadi orang Batak juga bisa mendalang,” ungkapnya

Memang, katanya, wayang adalah tontonan masyarakat Jawa yang sudah turun temurun, maka amat disayangkan jika regenerasi penontonnya tidak terjadi hanya dikarenakan permasalahan bahasa.

Sementara itu Ki Enthus Susmono, dalang dari Tegal yang sudah menerapkan pakai bahasa Indonesia, menuturkan bagus tidaknya pertunjukan wayang tergantung pada dalangnya.

Menurut dia, sejak menerapkan pendalangan dalam bahasa Indonesia, penontonnya jadinya banyak, dan grupnya lebih sering ditanggap. “Kami tampil sekitar 2 jam. Musiknya sedikit kencang, sehingga penonton juga bersemangat,” ungkap Enthus.

Dia mengaku untuk program Ramadhan dan Lebaran nanti, grupnya banyak ditanggap oleh masyarakat, baik di pesantren, masjid, dan di masyarakat dari berbagai daera
Readmore >>>

Kamis, 26 Juli 2012

Kelir Wayang Kulit


Kelir di dalam istilah pedalangan lebih menunjuk kepada layar tempat memainkan boneka wayang.Sedangkan istilah lain juga berarti warna, misalnya saya memakai baju dengan kelir merah, berarti memakai bau berwarna merah. Kelir dalam kaitannya dengan pergelaran wayang adalah sebuah layar berwarna putih benbentuk empat persegi panjang dengan panjang 2 hingga 12 meter dan lebar 1,5 hingga 2,5 meter.

Seperti dikataka oleh Redi Suta seorang dalang Abdi Dalem Keraton Kasunanan Surakarta bahwa panjang kelir yang dipergunakan oleh Keraton Surakarta antara 3,75 meter sampai 4 meter. Kelir ukuran 3,75 meter untuk pementasan wayang Kyai Para, yang dalam pergelaranya boleh dilihat oleh penonon umum dan peralatan ini juga disewakan kepada masyarakat luas yang membutuhkannya.

Sedangkan kelir panjang 4 meter untuk wayang Kyai Jimat, Kyai Kadung dan Kyai Kanyut. Ketiga jenis wayang ini hanya dipergelarkan khusus untuk keluarga Raja saja.Di daerah Surakarta panjang kelir antara 2meter ,3,75 meter,4 dan 6 meter. Hal tersebut karena masyarakat pedalangan di Surakarta meniru atau berkiblat kepada ukuran kelir yang ada di Keraton Kasunanan Surakarta. Kelir yang terpendek biasanya hanya digunakan untuk kebutuhan belajar bagi para calon Dalang, tanpa menggunakan simpingan

Menurut K.P.A Kusumadilaga, bagian kelir baik panjang dan lebarnya dibagi menjadi tiga bagaian :
"  Pertama bagian tengah diukur dari tengah-tengah kelir dimana terdapat Blencong atau lampu untuk menerangi pergelaran..
"  Kedua, bagian samping kanan jaraknya satu lengan dari tangan kanan Dalang, diperuntukan sebagai tempat simpingan wayang kanan
"  Ketiga, bagian kiri, jaraknya satu lengan lebih satu jengkal dari tangan Dalang, sebagai tempat simpingan wayang kiri. 

Mengapa bagian kiri kelir yang untuk memainkan wayang lebih panjang satu jengkal dibagian kanan Dalang? hal ini untuk mengantisipasi adegan kerajaan, karena kiri tempat pungawa raja menghadap, yang jumlahnya pasti lebih banyak dibandingkan sebelah kanan yang untuk menancapkan Raja dan dayang-dayang saja. Sedalngkan lebar kelir Menurut Kusumadilaga dibagi tiga baian juga. Pertama, bagian atas yang disebut dengan langitan, bagian tengah jagatan dan bagian bawah palemahan (Kamajaya, Sudibya Z.Hadi Sucipto 1981:51-52)

 Kelir ini terbuat dari bahan kain sejenis catoon bukan nilon atau orang jawa sering menyebutnya mekao. Bahan ini dipilih karena tidak terlalu licin sehingga jika wayang ditempelkan ke kelir tidak akan mudah goyang ke kanan dan ke kiri, dalang bisa mengendalikan gerak wayang dengan mudah

Di semua sisi pinggirnya kelir di balut dengan kain warna hitam, dengan lekukan tertentu. Sisi atas disebut sebagai pelangitan sedangkan sisi bawah disebut palemahan. Disebut pelangitan karena letaknya di atas dan difungsikan sebagai langitnya wayang. Bila suatu tokoh boneka wayang dalam posisi terbang, maka akan sampai menyentuh kelir bagian atas ini. Sedangkan palemahan berasal dari kata "lemah" yang berarti tanah sehingga dalam pakeliran lebih difungsikan sebagai tempat berpijaknya wayang. Jika tancepan wayang di atas garis palemahan, wayang tersebut akan terlihat mengambang. Sisi kanan kiri kelir dijahit berlubang untuk tempat meletakkan sligi, yakni semacam tiang kecil yang terbuat dari bambu atau kayu untuk membentangkan kelir di bagaian kanan dan kiri yang ditancapkan pada batang pisang di bagian bawahnya sedangkan bagian atas dihubungkan dengan gawangan kelir. Disi atas dan bawah kelir juga di jahitkan besi benbentuk bulatan atau segitiga kecil yang berfungsi untuk mengencangkan kelir dengan tali di bagian atas yang bernama pluntur dan dengan placak atau placek di bagian bawah.

Informasi tentang pertunjukan wayang menggunakan kelir sudah ada sejak abad XII, seperti yang termuat dalam kitab Wrettasancaya yang dilukiskan dengan kata-kata "Lwir mawayang tahen gati nikang wukir kineliran himarang anipis". Tulisan tersebut diterjemahkan oleh Kern "Semua pepohonan seperti wayang dengan mega-mega yang mengawang menutupi seperti kelir atau layar. (Hazeu 1978:42). Berita lain adanya kelir juga termuat dalam Kitab Tantu Panggelaran, bahwa pertunjukan wayang sudah menggunakan keli. Hal itu diceritakan turunnya para dewa ke mayapada yakni, Batara Icwara (Syiwa), Batara Brahma dan Batara Wisnu mendalang dengan menggunakan peralatan pangung dan kelir atau layar. (1979: 42-44).

Pada perkembangannya bentuk kelir ini tidak hanya benbentuk empat persegi panjang, tetapi untuk kebutuhan tertentu kelir ada yang dibuat dengan bentuk setengah lingkaran sebagaimana separoh bola dunia dengan bergambarkan pulau-pulau di sisi bagian atas. Kelir sangat berkaitan erat dengan gawangan kelir, gedebog, tapakdoro, kotak wayang, keprak, samir/semyok.
Readmore >>>