• Pagelaran Wayang Kulit
  • Dalang Tribasa
  • Pakeliran Wayang Purwa
  • Dalang Tribasa
  • Dalang Intertain
  • Tri Bayu Santoso
  • Dalang Inovatif
  • Pelaku Budaya
  • Youtube
  • Facebook
  • Twitter
  • Blogger
  • Saoundcould
  • Foursquare
  • Instagram
  • Pagelaran Wayang Kulit

Senin, 16 November 2015

Dalang Harus Masuk Jiwa Masyarakat

Ki Manteb Soedarsono
Dalang harus bisa memasuki jiwa masyarakat agar berbagai pesan tentang nilai-nilai kehidupan yang diusung melalui pementasan wayang sampai kepada mereka, kata dalang kondang dari Kota Surakarta Ki Manteb Sudarsono.

"Dalang harus bisa masuk ke hati masyarakat. Dia harus bisa 'ngemong rasa' (mengelola perasaan, red.) masyarakat. Dalang netral, dia seniman yang menjadi milik bangsa, bukan milik partai," katanya di Borobudur, Sabtu sore.

Manteb mengatakan hal itu saat sarasehan pedalangan yang diselenggarakan Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Kabupaten Magelang di Gandok Sawitri, kompleks Pondok Tingal Borobudur, Kabupaten Magelang, Jateng, sekitar 500 meter timur Candi Borobudur.

Ia menilai sejumlah dalang saat ini memiliki kemampuan dan keterampilan memainkan lakon wayang yang lebih baik ketimbang para dalang kategori usia tua.

Akan tetapi, katanya pada sarasehan dengan moderator dosen Program Studi Seni Pedalangan Jurusan Seni Murni Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Junaidi itu, mereka masih harus banyak belajar penjiwaan tentang kehidupan seorang dalang dan beragam karakter serta kisah pewayangan.

"Harus memiliki kemauan untuk terus menerus belajar supaya makin kuat dalam penjiwaan. Belajar apa saja, termasuk belajar tentang situasi negara, tahu politik dan situasi kehidupan aktual bangsa dan negara," katanya.

Pada kesempatan itu, ia juga mengemukakan pentingnya dalang untuk tidak terpaku kepada pakem pewayangan, seperti gaya Solo, Yogyakarta, Kedu, dan Banyumasan, namun mengembangkan kreativitas dalam pementasan agar menarik perhatian masyarakat.

Jika seorang dalang tidak terpaku pakem pakeliran, katanya, dia bisa laku mendapat tanggapan di berbagai daerah dengan masyarakat yang berlatar belakang beragam.

Namun, ia juga mengharapkan para dalang untuk tidak merasa puas jika laris mendapat tanggapan di berbagai tempat karena dia harus terus menerus belajar mengembangkan kemampuan dan memperkuat penjiwaan terhadap dunia pewayangan.

Ia mengatakan sikap percaya diri sebagai hal penting dimiliki seorang dalang agar tidak merasa canggung oleh penonton yang dari kalangan pejabat.

"Orang 'mayang' (mendalang, red.) seperti mencangkuli tegalan sendiri dan sawah kita sendiri dengan panenan untuk diri sendiri. Percaya diri, tidak ragu-ragu memainkan wayang," katanya pada sarasehan yang diikuti para dalang dari Kabupaten Magelang dan sejumlah daerah lainnya, seperti Kendal dan Banjarnegara. Wakil Bupati Banjarnegara Hadi Supeno dan budayawan Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Sutanto Mendut, juga hadir pada kesempatan itu.

Ketua Pepadi Kabupaten Magelang Muhyat jumlah dalang yang terdata di organisasi itu, sekitar 60 orang. Mereka yang tersebar di 21 kecamatan di Kabupaten Magelang tersebut, terdiri atas kategori dalang muda sekitar 15 orang, dalang dewasa 30 orang dan dalang tua 15 orang.

"Sarasehan ini penting untuk mengembangkan kemampuan dan memperluas wawasan para dalang, karena umumnya mereka menjadi dalang karena turun temurun dan belajar secara autodidak, hanya sedikit yang menjadi dalang karena belajar di pendidikan formal," katanya.

Pada kesempatan itu, ia menyebut sejumlah nama dalang di Kabupaten Magelang yang pada era 1950-1970, kondang hingga di luar daerah setempat, seperti Ki Joyo Kandar (Borobudur) dan Ki Cermo Karsono (Muntilan).

Editor: M Hari Atmoko
COPYRIGHT © 2015 



Readmore >>>

Kreativitas Dalang Dan Kebutuhan Penonton


Wayang kulit ‘Purwa’ bukan sekedar seni pertunjukan yang karenanya bisa diubah sekenanya. Modifikasi dalam seni pertunjukannya diperbolehkan, namun tetap harus ada patokan yang jadi pegangan, tidak serta merta keluar sepenuhnya dari pakem yang ada.

Wayang Kulit Purwa ‘Jawa’, yang biasa disebut sebagai ‘wayang kulit’ saja, memang terbukti bisa bertahan dari terpaan zaman. Tetapi itu melalui proses adaptasi dan penyesuaian yang luar biasa pula, mampu tetap memikat penontonnya dengan kreativitas sang dalang, maupun kesediaan insan wayang untuk ‘menuruti’ selera penontonnya. Bertemunya dua kutub tersebut, kreativitas dalang dan selera penonton, yang memungkinkan wayang tetap digemari dari generasi ke generasi, terlihat pada setiap pertunjukan wayang, jumlah penonton dari kalangan muda selalu lebih banyak.

Memang ada pakem-pakem atau aturan baku dari wayang yang harus dipatuhi. Tetapi ketaatan pada standar baku tidak boleh kaku, tetap harus ada ‘jembatan’ agar pentonton mengerti apa yang dimaksudkan dalam pakeliran tersebut, misalnya, caturan dalam bahasa Kawi atau Jawa Kuno yang makin jarang orang mengetahui maknanya. Demikian diungkapkan Ki Purbo Asmoro, dalang wayang kulit ‘Gagrak Surakarta’ hadir sebagai pembicara pada diskusi “Wayang, Antara Kreativitas Dalang dan Kebutuhan Penonton’ di rumah penyinden asal Amerika Serikat, Kitsie Emerson di Kemang Utara VII -9, Jum’at (3/5/2013).
“Kalau terlalu baku, yang mengerti hanya dalangnya, menyenangkan hati si dalang saja dan tidak mengerti bahwa dia itu ditonton orang,” ujarnya.

Sebagai dalang yang sudah dua puluhan tahun berkecimpung dalam dunia pewayangan, adaptasi berbagai kreasi baru memang semakin marak. Selera penonton pun berbeda-beda, ada yang menyukai, misalnya, tambahan lawak dan campursari dalam pertunjukan wayang, namun ada juga penonton yang fanatik pada gaya klasik.

Daerah seperti Purworejo, ujarnya, welcome terhadap gaya pakeliran yang berbeda, yang meski dekat dan sangat familiar dengan gaya Yogyakarta, tetap antusias dengan pementasan wayang gaya Solo, saat dalang asal Pacitan tersebut pentas di alun-alun Purworejo. Sedangkan daerah seperti Tuban dan Nganjuk merupakan daerah dengan penonton wayang yang sangat menyukai tambahan lawak dan campursari.

“Sedangkan Sragen, itu daerah yang seneng nanggap wayang tapi nggak ditonton. Kalau di Pati, para penontonnya tidak pernah bertepuk tangan tidak pernah tertawa, tetapi tidak juga mau beranjak pergi,” kata Ki Purbo tertawa.
Penambahan unsur dari luar dunia pakeliran seperti lawak dan campursari tersebut, diakui memang bisa ditolerir untuk dalang-dalang tertentu, tetapi ada juga yang tidak bisa ditolerir oleh pentontonnya sendiri, yaitu untuk dalang yang memang disukai karena ke-baku-an atau keklasikannya. Sejumlah peserta diskusi mewakili penonton pun mengungkapkan hal serupa.

Budaya Pengisi Jatidiri dan Karakter Manusia
Yanusa Nugroho, sastrawan, mengungkapkan wayang sebagai salahsatu khazanah milik Indonesia, seyogianya tidak diubah-ubah yang terlalu keluar dari pakem untuk menuruti selera penonton. Sebaliknya, dalanglah yang harus mendidik penonton dengan nilai baku dan kreativitasnya, menampilkan nilai-nilai yang terkandung dalam wayang agar dapat diinternalisasikan.

Wayang, ujarnya, merupakan mitologi Jawa sebagai sumber paling dalam dan murni, sebagaimana peradaban Yunani menjadikan mitologi mereka untuk membangun karakter, budaya dan peradabannya sendiri. Penulis yang mengaku kesengsem dengan Ki Purbo setelah menonton pementasan “Bargawa” tersebut, sangat mengagumi wayang tidak hanya pada seni pakelirannya, tetapi betapa dengan wayang tersebut dapat dengan apik digambarkan sifat-sifat manusia dengan seluk-beluknya, yang dapat dijadikan unsur pembangun kemanusiaan.

Dari sisi pertunjukannya, Yanusa melontarkan uneg-uneg, bisakah wayang dikenakan tiket sebagaimana pertunjukan teater atau konser musik, yang meski tiketnya mahal tetap diserbu penontonnya. Hal itu ia dasarkan pada pemikiran bahwa penonton yang menyadari manfaat atau merasa butuh akan dengan sukarela mengeluarkan uang sejumlah, misalnya Rp 50.000, untuk menonton pertunjukan wayang.
“Contohnya teater asing dari Inggris yang mementaskan ‘Hamlet’ pada tahun 1980-an, waktu itu kami harus membayar Rp50.000,” ujarnya. Uang sejumlah itu pada waktu itu, bagi golongan mahasiswa, tergolong besar, tetapi toh peonton Hamlet tetap membludak.

Akan tetapi, ide tersebut diakuinya memang belum tentu relevan untuk saat ini, walau di masa yang akan datang bisa saja diterapkan, bergantun pada perkembangannya.
Diskusi yang dihadiri sekitar 50-an penggemar wayang tersebut berlangsung hingga pukul 01 dinihari. Dilengkapi pula dengan pementasan singkat oleh Ki Purbo Asmoro lakon “Arjuna Wiwaha” dengan berbagai trik dan penjelasan sejumlah tatanan baku pakeliran yang menjadi bahan diskusi malam itu.

Di akhir acara, nyonya rumah, Kitsie Emerson yang telah merampungkan penulisan buku tentang wayang Gagrak Solo dalam tiga gaya pakeliran (pakeliran klasik, pakeliran padat dan pakeliran semalam suntuk) dari lakon yang dibawakan Ki Purbo Asmoro, menghadiahkan satu set buku kepada rombongan PSMS Oye (Penggemar Sejati Manteb Sudharsono). Buku yang dikerjakan dengan sangat teliti tersebut diterbitkan dalam tiga bahasa: Jawa, Indonesia dan Inggris.

Fathurrahman Tekad. Penikmat Wayang
Readmore >>>