Dalang Tri Bayu Santoso ( Dalang Tribasa ) Akan Pentas di Lamongan ,Tepatnya hari Sabtu,27 Desember 2014 di Desa Tambakrigadung Kecamatan Tikung Lamongan ,Dengan Lakon Wisanggeni Rabi ,Bagi Warga Lamongan dan sekitarnya Saksikan dan nikmati Pagelaran Wayang Kulit Dalang Tribasa di Rumah bapak Bambang
Minggu, 14 Desember 2014
Selasa, 16 September 2014
Pandawa Syukur Oleh Dalang Tribasa
Dalam Rangka Sedekah bumi Desa Pamotan ,hari Jumat,19 September 2014,akan digelar Wayang Kulit Purwa " Lakon Pandawa Syukur " oleh dalang Ki Tri Bayu Santoso ( Dalang Tribasa )
Dalam cerita Lakon tersebut ,diceritakan keinginan bulat para pandawa untuk mengadakan acara puji Syukur kepada Sang Pencipta ( Allah ) atas Diberi Anugerah Negara Amartha yang gemah Ripah Loh Jinawi kerta raharja,merupakan negara yang sangat elok dan indah oleh perantara batara Indra,bagaimana cerita lengkapnya selamat menonton
Minggu, 10 Agustus 2014
Show Dalang Tri Bayu Santoso ( Dalang Tribasa )
Show Dalang Tribasa - Di Akhir bulan Agustus 2014 tepatnya hari minggu tanggal 24 Agustus 2014,dalang Tri Bayu Santoso ( Tribasa ) akan pentas di Desa Besowo Kec.Jatirogo Kab.Tuban,dengan lakon " Rama Nitis " Dengan Sanggar Karawitan BayuSiwi " Bagaimana Ceritanya bisa disaksikan dan ditonton bersama sama ...
Minggu, 27 Juli 2014
Jumat, 25 Juli 2014
Makna Ketupat Lebaran
Lebaran identik dengan ketupat. Ketupat tak sekedar makanan, namun ia
sebuah simbol bagi perayaan dan hakikat lain terkait dengan hadirnya
Hari Raya Idul Fitri. Kartu ucapan lebaran sudah hampir pasti diwakili
oleh gambar ketupat, bukan buah-buhan atau pepohonan
Dibalik simbol ketupat saya mencoba
merenungi makna dibalik makanan khas Indonesia ini. Ketupat sendiri
berasal dari bahasa Jawa. Di kalangan orang Sunda ketupat dikenal dengan
nama Kupat. Tak hanya di Jawa, di Sumatera dan tempat lainnya ketupat
seolah menjadi makanan “pokok” di hari penuh sukacita bagi kaum muslimin
di Nusantara.
Asal-usul ketupat konon dimulai dari
zaman Wali Songo, para dai terkenal penyebar Islam di Jawa. Dalam
sejarah, Sunan Kalijaga adalah orang yang pertama kali memperkenalkannya
pada masyarakat Jawa. Beliau membudayakan dua kali Bakda, yaitu Bakda
Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Kupat dimulai seminggu sesudah Lebaran.
Pada hari yang disebut Bakda Kupat tersebut, di tanah Jawa waktu itu
hampir setiap rumah terlihat menganyam ketupat dari daun kelapa muda.
Setelah sudah selesai dimasak, kupat tersebut diantarkan ke kerabat yang
lebih tua, menjadi sebuah lambang kebersamaan. (Sumber : Sejarah
Asal-usul Ketupat http://tanbihun.com/sejarah/sejarahasal-usul-ketupat/)
Ketupat selalu berbentuk persegi empat
menyerong diagonal. Bahan ketupat berasal dari daun kelapa yang masih
muda (janur) yang sebelum lebaran sering kurang dimanfaatkan. Cara
membuat anyaman ketupat pun tidaklah mudah, bagi pemula. Perlu ketekunan
dan kesabaran hingga ketupat bisa sempurna terbentuk.
Bagaimana ketupat dimasak hingga bisa
matang dan tidak berantakan? Awalnya pembuat ketupat memasukkan beras ke
dalam anyaman ketupat hingga memenuhi setengah ruangannya. Setelah
selesai, anyaman ketupat berisi beras dimasak dengan cara menggodok atau
merebus dalam panci atau kuali berisi air. Berbeda dengan memasak nasi,
memasak ketupat perlu waktu cukup lama hingga anyaman ketupat menjadi
padat berisi.
Dari rangkaian fisik ketupat, ada filosofi hidup yang bisa kita tarik dari hakikat sebuah ketupat.yaitu :
- Ketupat melambangkan kejernihan dalam kerumitan. Ketupat yang dibuat dari bahan janur berwarna cerah melambangkan kesucian. Warna cerah ini mampu menutupi rumitnya anyaman ketupa. Kerumitan atau kesulitan hidup akibat salah, khilaf dan alpa bisa tersucikan oleh saling memaafkan dan terampuninya dosa di hari kemenangan, Idul Fitri. Di hari raya, orang beriman bukan hanya memperingati kemenangan karena selesai berpuasa, namun paling hakiki kemenangan karena harapan dosa yang diampuni dan kesalahan yang termaafkan
- Ketupat melambangkan ketekunan dan kesabaran. Seperti seorang yang membuat ketupat yang tekun mengayam satu-demi satu anyaman hingga bentuk segiempat diagonal tampak sempurna. Ketekunan dan kesabaran dalam menjalani puasa dan ibdah lain di bulan Ramadhan menjadi indah lahir batin di hari kemenangan
- Ketupat adalah menaikkan citra. Daun kelapa muda atau janur yang tadinya kurang berharga berubah menjadi bahan yang sangat terhormat karena menempati piranti alat masak yang mewah dan hadir pada waktu sangat istimewa. Di hari yang Fitri saatnya kita menempatkan setiap orag menjadi terhormat siapapun dia, karena kita butuh maaf dari mereka. Dan sebaik-baik manusia adalah dialah yang bertaqwa
- Ketupat adalah simbol kekompakan. Isi ketupat haruslah padat bila ia ingin dilirik orang. Ketupak yang tidak padat akan mengurangi bentuk dan selera orang yang memandangnya. Dalam kehidupan, kekompakan pastilah sebuah keindahan yang mendatangkan semangat bagi setiap orang untuk berbuat kebaikan. Di hari lebaran, kekompakan menemukan momentumnya. Keluarga dan sahabat berkumpul dalam suasana penuh kebersamaan dan semangat baru
- Ketupat matang tak pernah melewati batas anyaman. Bila ketupat sudah matang, beras yang memadat akan tetap dalam batas anyaman dan tidak saling menonjolkan diri ke luar. Di hari raya lebaran, seorang yang sudah matang imannya, takkan pernah mau menonjolkan dirinya. Ia tundauk pada batas-batas agama, etika dan norma.
- Ketupat mewakili semangat kebersamaan. Ketupat tak mengundang selera bila dinikmati sendiri. Ketupat perlu pengiring atau teman agar terasa nikmat disantap. Opor ayam, rending, sambal goreng kentang dan ati, sambal, kerupuk dan makanan pengiring membuat menu ketupat begitu nikmat. Di hari lebaran, hari dimana semua orang berinteraksi, saling memaafkan dan saling memberi. Kebersamaan sangat indah dan member rasa yang berkesan.
Semoga kita bisa menikmati ketupat
lebaran di hari penuh kegembiraan. Tak hanya menyantap ketupat dengan
menu pengiringnya, namun juga hakitat yang dalam dibalik rasanya yang
nikmat.
Kamis, 03 Juli 2014
Hakikat Puasa Dan Bertemu Dengan Allah
Marhaban Yaa Ramadhan.
Mari kita jemput keberkahan dan rahmat Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, insyaallah pada bulan Ramadhan tahun ini .
“Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mendengar seorang
wanita tengah mencaci-maki hamba sahayanya, padahal ia sedang berpuasa.
Nabi saw, segera memanggilnya. Lalu Beliau menyuguhkan makanan seraya
berkata, “Makanlah hidangan ini “. Keruan saja wanita itu menjawab, “Ya
Rasulullah, aku sedang berpuasa”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
berkata dengan nada heran, “Bagaimana mungkin engkau berpuasa sambil
mencaci-maki hamba sahayamu ?”. Sesungguhnya Allah menjadikan puasa
sebagai penghalang (hijab) bagi seseorang dari segala kekejian ucapan
maupun perbuatan. Betapa sedikitnya orang yang berpuasa dan betapa
banyaknya orang yang lapar”. (HR Bukhari)
Dengan hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ingin mengingatkan kaum Muslim hakikat puasa yang sebenarnya.
Istilah shaum bersumber dari bahasa Arab yang artinya, menahan, mengekang atau mengendalikan (al-imsak).
Secara syariat (fikih), makna puasa adalah menahan diri dari segala
sesuatu yang dapat membatalkan mulai terbitnya fajar shubuh hingga
terbenamnya matahari yang disertai dengan niat.
Puasa terdiri dari tiga tingkatan.
Puasa perut, tingkatan paling awal adalah puasa yang memenuhi syariat, yakni puasa muslim pada umumnya.
Puasa hawa nafsu, tingkatan selanjutnya setelah puasa perut, puasa sesauai syariat yang diikuti dengan menahan hawa nafsu.
“Apabila engkau berpuasa hendaknya telingamu berpuasa dan juga
matamu, lidahmu dan mulutmu, tanganmu dan setiap anggota tubuhmu atau
setiap panca inderamu” (al Hadits).
Puasa qalbu, tingkatan tertinggi setelah puasa hawa
nafsu, puasa yang diikuti dengan menahan dari segala kecenderungan yang
rendah dan pikiran yang bersifat duniawi, serta memalingkann diri dari
segala sesuatu selain Allah.
Keadaan sadar(kesadaran) atau perilaku/perbuatan secara sadar dan mengingat Allah (dzikrulllah) inilah kunci dari Taqwa
Sayidina Ali bin Abi Thalib ra mengatakan “Puasa Qalbu adalah menahan diri dari segala pikiran dan perasaan yang menyebabkan terjatuh pada dosa”.
Bertemu Allah
“Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya” (HR Bukhari).
Sebagian muslim memahami bahwa yang dimaksud dengan hadits ini
adalah dengan amal puasa kita dapat bertemu dengan Allah di akhirat
kelak.
Benar, bahwa dengan amal puasa dan amal-amal lainnya yang menunjukkan
tingkat ketaqwaan seorang muslim yang dapat menghantarkan pada
kenikmatan tertinggi dari semua kenikmatan yang ada di surga adalah
melihat (bertemu) Allah..
Bahkan bagi mereka yang berpuasa, telah tersedia pintu khusus untuk mereka
Dari Sahl dari Nabi bersabda : Sesungguhnya dalam surga terdapat
sebuah pintu yang bernama Ar Rayyan, orang-orang yang berpuasa akan
masuk melaluinya pada hari kiamat, dan selain mereka tidak akan masuk
melaluinya. ….(Hadist riwayat Bukhari dan Muslim)
Namun sesungguhnya kegembiraan berpuasa, bertemu dengan Allah dapat juga kita rasakan atau kita alami saat kita di dunia.
Mereka yang merasakan bertemu Allah di dunia adalah mereka yang
gemar mengadukan segala macam persoalan kehidupannya di dunia ke hadapan
Allah. Mereka yang dengan sesungguhnya mengatakan bahwa,
“….. hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan” (QS Al Fatihah [1] : 5 )
Mereka-mereka yang gembira dilihat Allah Azza wa Jalla.
Mereka-mereka yang gembira bertemu dengan Allah Azza wa Jalla di dunia.
Sebagian muslim belum mengimani bahwa kita dapat bertemu dengan Allah
Azza wa Jalla di dunia walaupun kita tidak dapat melihatNya.
Sebagian muslim belum mengimani bertemu dengan Allah Azza wa Jalla di
dunia karena kesalahpahaman memahami firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat
melihat segala penglihatan itu, dan Dia-lah Yang Mahahalus lagi Maha
Mengetahui.” [QS Al-An’aam: 103]
Allah Subhanahu wa Ta’ala pernah berfirman kepada Nabi Musa Alaihissalam
“Kamu sekali-kali tidak dapat melihat-Ku.” [QS Al-A’raaf: 143]
Demikian juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Ketahuilah bahwa tidak ada seorang pun yang akan bisa melihat Rabb-nya hingga ia meninggal dunia” (HR Muslim)
“Ketahuilah bahwa tidak ada seorang pun yang akan bisa melihat Rabb-nya hingga ia meninggal dunia” (HR Muslim)
Juga pernyataan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ia berkata.
“Barangsiapa menyangka bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Rabb-nya, maka orang itu telah melakukan kebohongan yang besar atas Nama Allah.” (Muslim)
“Barangsiapa menyangka bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Rabb-nya, maka orang itu telah melakukan kebohongan yang besar atas Nama Allah.” (Muslim)
Firman-firman Allah dan hadits diatas adalah petunjuk bahwa Allah
tidak dapat kita lihat di dunia dengan mata kepala (secara dzahir /
lahiriah).
Namun kita dapat menghadap kepada Allah, bersama Allah, bertemu
Allah, berlari kepada Allah (Fafirruu Ilallah) ketika di dunia walaupun
kita di dunia tidak dapat melihatNya.
Sebagai contoh bahwa kita menghadap Allah, bertemu Allah ketika di dunia adalah mendirikan sholat
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, bahwa Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin , “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“.
Yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah Azza wa Jalla.
Sebagian muslim tidak menyadari bahwa mereka menghadap Allah Azza wa
Jalla, bertemu Allah Azza wa Jalla di dunia. Mereka beribadah
(menyembah Allah) tanpa merasakan menghadap ke hadhirat Allah.
Sebagian muslim di dunia bahkan “menghindari” menghadap Allah Azza wa
Jalla atau “menghindari” bertemu dengan Allah Azza wa Jalla,
seolah-olah mereka dapat tidak terlihat oleh Allah Azza wa Jalla di
dunia padahal Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui.
Maka kerugian besar bagi muslim yang belum dapat merasakan
seolah-olah melihat Allah Azza wa Jalla di dunia, bertemu Allah Azza wa
Jalla, bersama dengan Allah ketika di dunia.
“Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Mereka secara tidak disadari mengingkari apa yang mereka ucapkan bahwa
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” (QS Al Fatihah : 1)
Sesungguhnya, “dengan menyebut nama Allah” itu adalah “dengan
dzatNya”, bersama Allah, bertemu Allah, berlari kepada Allah (Fafirruu
Ilallah).
Jadi, muslim yang berpuasa dan dapat mengalami, merasakan kegembiraan
bertemu dengan Allah di dunia dan mengharapkan tetap bertemu dengan
Allah di akhirat kelak adalah mereka yang telah menjalankan puasa
qalbu. Selama mereka berpuasa mereka melakukan secara sadar dan
mengingat Allah. Mereka bersama Allah.
“Buatlah perut-perutmu lapar dan qalbu-qalbumu haus dan
badan-badanmu telanjang, mudah-mudah an qalbu kalian bisa melihat Allah
di dunia ini (HR Bukhari).
“Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin”
“Keselamatan semoga bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”
Wassalam
Melihat Puasa Menurut Pandangan Sufi
Berkatian dengan jenis dan tingkatan Puasa
yang diungkapkan Imam al-Ghazali dalam tulisan saya sebelumnya, salah
satu pandangan mengenai puasa yang berbeda dengan puasa kebanyakan
adalah puasa dalam pandangan para sufi. Para Sufi berpandangan bahwa
puasa adalah cara untuk menahan diri dari nafsu jasmani dan memutuskan
hasrat-hasrat duniawi yang muncul dari pengaruh bisikan-bisikan syetan
yang ditempatkan pada diri manusia.
Untuk menyikapi bisikan syetan itulah, Allah mengaruniakan hati
kepada manusia. Hati adalah termasuk bala bantuan dari Allah, tetapi
penganugrahan hati tersebut bisa saja malah bergabung dengan barisan
syetan yang nantinya hanya akan membawa manusia menuju ke jurang
kenistaan dan kehancuran.
Untuk menaklukan badan kepada jiwa, adalah perlu adanya cara yaitu
dengan jalan melemahkan kekuatan badan demi meningkatkan kekuatan jiwa,
dan hal itu telah dibuktikan dari berbagai penelitian para ahli.
Hasilnya bahwa tiada sesuatu yang semanjur ini seperti lapar dan haus,
pembuangan kemauan-kemauan hawa nafsu dan mengontrol lidah, hati
(fikiran) dan anggota-anggota lain, selain dengan jalan berpuasa. Dari
pandangan sufi ini, maka puasa memiliki fungsi untuk menghidupkan jiwa
atau hati.
Syeikh Abdul Qadir al-Jailani dalam karyanya Sirr al-Asrar
menyatakan bahwa bila seseorang berpuasa hendaknya mampu mengharmonikan
kondisi lahir dan batinnya, seperti perutnya yang dikosongkan dari makan
dan minum. Jadi harus ada keseimbangan antara puasa dari sisi syariat,
dan puasa dari sisi ruhani.
Terkait dengan pendapat itu, Ghulam Mu’inuddin mengatakan, Puasa yang
paling baik yaitu puasa dalam dimensi pikiran. Dengan kata lain, ketika
puasa tidak memikirkan apapun kecuali Allah. Puasa yang dikerjakan juga
meliputi pengendalian penglihatan dari segala pandangan yang mengarah
pada kejelekan dan menjauhkan diri dari percakapan yang tidak bermanfaat
seperti, berkata dusta, mefitnah, bicara tidak senonoh dan
tindakan-tindakan yang berpura-pura. Singkatnya, orang-orang yang
berpuasa seperti itu harus berupaya untuk berdiam diri, dan apabila
mereka berkata-kata harus yang baik-baik sehingga jalan untuk mengingat
kepada Allah semata akan lebih mudah.
Puasa dalam pandangan para sufi ini memang sangat sulit dilakukan dan
hanya orang-orang yang sudah bisa memahami ibadah bukan sebagai
perintah tetapi sudah pada taraf memahami ibadah secara hakikat, yang
bisa melakukan puasa semacam ini.
Kita sebagai manusia kebanyakan tentu masih sulit melakukan puasa
dalam pandangan para sufi ini. Hanya orang-orang tertentu yang telah
mempunyai nilai ketakwan kuat dalam hati dan tingkah laku di mana dalam
fikirannya yang ada hanya Allah semata tidak ada yang lain. Tetapi yang
demikian itu puasa yang dimaksud oleh ajaran agama. Karena dengan jalan
berpuasa yang demikian seseorang akan mampu merasakan dengan
sebenar-benarnya manfaat dari pelaksanaan puasa.
Puasa dalam pandangan para sufi ini memang sangat sulit dilakukan dan
hanya orang-orang yang sudah bisa memahami ibadah bukan sebagai
perintah tetapi sudah pada taraf memahami ibadah secara hakikat, yang
bisa melakukan puasa semacam ini.
Kita sebagai manusia kebanyakan tentu masih sulit melakukan puasa
dalam pandangan para sufi ini. Hanya orang-orang tertentu yang telah
mempunyai nilai ketakwan kuat dalam hati dan tingkah laku di mana dalam
fikirannya yang ada hanya Allah semata tidak ada yang lain. Tetapi yang
demikian itu puasa yang dimaksud oleh ajaran agama. Karena dengan jalan
berpuasa yang demikian seseorang akan mampu merasakan dengan
sebenar-benarnya manfaat dari pelaksanaan puasa.
Langganan:
Postingan (Atom)