• Pagelaran Wayang Kulit
  • Dalang Tribasa
  • Pakeliran Wayang Purwa
  • Dalang Tribasa
  • Dalang Intertain
  • Tri Bayu Santoso
  • Dalang Inovatif
  • Pelaku Budaya
  • Youtube
  • Facebook
  • Twitter
  • Blogger
  • Saoundcould
  • Foursquare
  • Instagram
  • Pagelaran Wayang Kulit

Jumat, 25 Juli 2014

Makna Ketupat Lebaran



Lebaran identik dengan ketupat. Ketupat tak sekedar makanan, namun ia sebuah simbol bagi perayaan dan hakikat lain terkait dengan hadirnya Hari Raya Idul Fitri. Kartu ucapan lebaran sudah hampir pasti diwakili oleh gambar ketupat, bukan buah-buhan atau pepohonan

Dibalik simbol ketupat saya mencoba merenungi makna dibalik makanan khas Indonesia ini. Ketupat sendiri berasal dari bahasa Jawa. Di kalangan orang Sunda ketupat dikenal dengan nama Kupat. Tak hanya di Jawa, di Sumatera dan tempat lainnya ketupat seolah menjadi makanan “pokok” di hari penuh sukacita bagi kaum muslimin di Nusantara.

Asal-usul ketupat konon dimulai dari zaman Wali Songo, para dai terkenal penyebar Islam di Jawa. Dalam sejarah, Sunan Kalijaga adalah orang yang pertama kali memperkenalkannya pada masyarakat Jawa. Beliau membudayakan dua kali Bakda, yaitu Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Kupat dimulai seminggu sesudah Lebaran. Pada hari yang disebut Bakda Kupat tersebut, di tanah Jawa waktu itu hampir setiap rumah terlihat menganyam ketupat dari daun kelapa muda. Setelah sudah selesai dimasak, kupat tersebut diantarkan ke kerabat yang lebih tua, menjadi sebuah lambang kebersamaan. (Sumber : Sejarah Asal-usul Ketupat http://tanbihun.com/sejarah/sejarahasal-usul-ketupat/)

Ketupat selalu berbentuk persegi empat menyerong diagonal. Bahan ketupat berasal dari daun kelapa yang masih muda (janur) yang sebelum lebaran sering kurang dimanfaatkan. Cara membuat anyaman ketupat pun tidaklah mudah, bagi pemula. Perlu ketekunan dan kesabaran hingga ketupat bisa sempurna terbentuk.
Bagaimana ketupat dimasak hingga bisa matang dan tidak berantakan? Awalnya pembuat ketupat memasukkan beras ke dalam anyaman ketupat hingga memenuhi setengah ruangannya. Setelah selesai, anyaman ketupat berisi beras dimasak dengan cara menggodok atau merebus dalam panci atau kuali berisi air. Berbeda dengan memasak nasi, memasak ketupat perlu waktu cukup lama hingga anyaman ketupat menjadi padat berisi.
Dari rangkaian fisik ketupat, ada filosofi hidup yang bisa kita tarik dari hakikat sebuah ketupat.yaitu :
  1. Ketupat melambangkan kejernihan dalam kerumitan. Ketupat yang dibuat dari bahan janur berwarna cerah melambangkan kesucian. Warna cerah ini mampu menutupi rumitnya anyaman ketupa. Kerumitan atau kesulitan hidup akibat salah, khilaf dan alpa bisa tersucikan oleh saling memaafkan dan terampuninya dosa di hari kemenangan, Idul Fitri. Di hari raya, orang beriman bukan hanya memperingati kemenangan karena selesai berpuasa, namun paling hakiki kemenangan karena harapan dosa yang diampuni dan kesalahan yang termaafkan

  2. Ketupat melambangkan ketekunan dan kesabaran. Seperti seorang yang membuat ketupat yang tekun mengayam satu-demi satu anyaman hingga bentuk segiempat diagonal tampak sempurna. Ketekunan dan kesabaran dalam menjalani puasa dan ibdah lain di bulan Ramadhan menjadi indah lahir batin di hari kemenangan

  3. Ketupat adalah menaikkan citra. Daun kelapa muda atau janur yang tadinya kurang berharga berubah menjadi bahan yang sangat terhormat karena menempati piranti alat masak yang mewah dan hadir pada waktu sangat istimewa. Di hari yang Fitri saatnya kita menempatkan setiap orag menjadi terhormat siapapun dia, karena kita butuh maaf dari mereka. Dan sebaik-baik manusia adalah dialah yang bertaqwa

  4. Ketupat adalah simbol kekompakan. Isi ketupat haruslah padat bila ia ingin dilirik orang. Ketupak yang tidak padat akan mengurangi bentuk dan selera orang yang memandangnya. Dalam kehidupan, kekompakan pastilah sebuah keindahan yang mendatangkan semangat bagi setiap orang untuk berbuat kebaikan. Di hari lebaran, kekompakan menemukan momentumnya. Keluarga dan sahabat berkumpul dalam suasana penuh kebersamaan dan semangat baru

  5. Ketupat matang tak pernah melewati batas anyaman. Bila ketupat sudah matang, beras yang memadat akan tetap dalam batas anyaman dan tidak saling menonjolkan diri ke luar. Di hari raya lebaran, seorang yang sudah matang imannya, takkan pernah mau menonjolkan dirinya. Ia tundauk pada batas-batas agama, etika dan norma.

  6. Ketupat mewakili semangat kebersamaan. Ketupat tak mengundang selera bila dinikmati sendiri. Ketupat perlu pengiring atau teman agar terasa nikmat disantap. Opor ayam, rending, sambal goreng kentang dan ati, sambal, kerupuk dan makanan pengiring membuat menu ketupat begitu nikmat. Di hari lebaran, hari dimana semua orang berinteraksi, saling memaafkan dan saling memberi. Kebersamaan sangat indah dan member rasa yang berkesan.
Semoga kita bisa menikmati ketupat lebaran di hari penuh kegembiraan. Tak hanya menyantap ketupat dengan menu pengiringnya, namun juga hakitat yang dalam dibalik rasanya yang nikmat.


Readmore >>>

Kamis, 03 Juli 2014

Hakikat Puasa Dan Bertemu Dengan Allah


Marhaban Yaa Ramadhan.
Mari kita jemput keberkahan dan rahmat Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, insyaallah pada bulan Ramadhan tahun ini .

Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mendengar seorang wanita tengah mencaci-maki hamba sahayanya, padahal ia sedang berpuasa. Nabi saw, segera memanggilnya. Lalu Beliau menyuguhkan makanan seraya berkata, “Makanlah hidangan ini “. Keruan saja wanita itu menjawab, “Ya Rasulullah, aku sedang berpuasa”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, berkata dengan nada heran, “Bagaimana mungkin engkau berpuasa sambil mencaci-maki hamba sahayamu ?”. Sesungguhnya Allah menjadikan puasa sebagai penghalang (hijab) bagi seseorang dari segala kekejian ucapan maupun perbuatan. Betapa sedikitnya orang yang berpuasa dan betapa banyaknya orang yang lapar”.  (HR Bukhari)

Dengan hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ingin mengingatkan kaum Muslim hakikat puasa yang sebenarnya.
Istilah shaum bersumber dari bahasa Arab yang artinya, menahan, mengekang atau mengendalikan (al-imsak).

Secara syariat (fikih), makna puasa adalah menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan mulai terbitnya fajar shubuh hingga terbenamnya matahari yang disertai dengan niat.

Puasa terdiri dari tiga tingkatan.

Puasa perut, tingkatan paling awal adalah puasa yang memenuhi syariat, yakni puasa muslim pada umumnya.

Puasa hawa nafsu, tingkatan selanjutnya setelah puasa perut, puasa sesauai syariat yang diikuti dengan menahan hawa nafsu.

Apabila engkau berpuasa hendaknya telingamu berpuasa dan juga matamu, lidahmu dan mulutmu, tanganmu dan setiap anggota tubuhmu atau setiap panca inderamu” (al Hadits).
Puasa qalbu, tingkatan tertinggi setelah puasa hawa nafsu, puasa yang diikuti dengan menahan dari segala kecenderungan yang rendah dan pikiran yang bersifat duniawi, serta memalingkann diri dari segala sesuatu selain Allah.

Keadaan sadar(kesadaran) atau perilaku/perbuatan secara sadar dan mengingat  Allah (dzikrulllah)  inilah kunci dari Taqwa

Sayidina Ali bin Abi Thalib ra mengatakan “Puasa Qalbu adalah menahan diri dari segala pikiran dan perasaan yang menyebabkan terjatuh pada dosa”.

Bertemu Allah

Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya” (HR Bukhari).
Sebagian muslim memahami bahwa yang dimaksud dengan hadits ini adalah  dengan amal puasa kita dapat bertemu dengan Allah di akhirat kelak.

Benar, bahwa dengan amal puasa dan amal-amal lainnya yang menunjukkan tingkat ketaqwaan seorang muslim yang dapat menghantarkan pada kenikmatan tertinggi dari semua kenikmatan yang ada di surga adalah melihat (bertemu) Allah..

Bahkan bagi mereka yang berpuasa, telah tersedia pintu khusus untuk mereka
Dari Sahl dari Nabi bersabda : Sesungguhnya dalam surga terdapat sebuah pintu yang bernama Ar Rayyan, orang-orang yang berpuasa akan masuk melaluinya pada hari kiamat, dan selain mereka tidak akan masuk melaluinya. ….(Hadist riwayat Bukhari dan Muslim)
Namun sesungguhnya kegembiraan berpuasa, bertemu dengan Allah dapat juga kita rasakan atau kita alami saat kita di dunia.

Mereka yang merasakan bertemu Allah di dunia  adalah mereka yang gemar mengadukan segala macam persoalan kehidupannya di dunia ke hadapan Allah. Mereka yang dengan sesungguhnya mengatakan bahwa,
….. hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan” (QS  Al Fatihah [1] : 5 )
Mereka-mereka yang gembira dilihat Allah Azza wa Jalla.

Mereka-mereka yang gembira bertemu dengan Allah Azza wa Jalla di dunia.
Sebagian muslim belum mengimani bahwa kita dapat bertemu dengan Allah Azza wa Jalla di dunia walaupun kita tidak dapat melihatNya.

Sebagian muslim belum mengimani bertemu dengan Allah Azza wa Jalla di dunia karena kesalahpahaman memahami firman Allah ta’ala yang artinya,

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dia-lah Yang Mahahalus lagi Maha Mengetahui.” [QS Al-An’aam: 103]
Allah Subhanahu wa Ta’ala pernah berfirman kepada Nabi Musa Alaihissalam

Kamu sekali-kali tidak dapat melihat-Ku.” [QS Al-A’raaf: 143]
Demikian juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Ketahuilah bahwa tidak ada seorang pun yang akan bisa melihat Rabb-nya hingga ia meninggal dunia” (HR Muslim)

Juga pernyataan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ia berkata.
Barangsiapa menyangka bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Rabb-nya, maka orang itu telah melakukan kebohongan yang besar atas Nama Allah.” (Muslim)

Firman-firman Allah dan hadits diatas adalah petunjuk bahwa Allah tidak dapat kita lihat di dunia dengan mata kepala (secara dzahir / lahiriah).

Namun kita dapat menghadap kepada Allah,  bersama Allah, bertemu Allah, berlari kepada Allah (Fafirruu Ilallah) ketika di dunia walaupun kita di dunia  tidak dapat melihatNya.
Sebagai contoh bahwa kita menghadap Allah, bertemu Allah ketika di dunia adalah mendirikan sholat
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, bahwa Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin , “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“.

Yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah Azza wa Jalla.
Sebagian muslim tidak menyadari bahwa mereka menghadap Allah Azza wa Jalla, bertemu Allah Azza wa Jalla di dunia. Mereka beribadah (menyembah Allah)  tanpa merasakan menghadap ke hadhirat Allah.
Sebagian muslim di dunia bahkan “menghindari” menghadap Allah Azza wa Jalla atau “menghindari” bertemu dengan Allah Azza wa Jalla, seolah-olah mereka dapat tidak terlihat oleh Allah Azza wa Jalla di dunia  padahal Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui.

Maka kerugian besar bagi muslim yang belum dapat merasakan seolah-olah melihat Allah Azza wa Jalla di dunia, bertemu  Allah Azza wa Jalla, bersama dengan Allah ketika di dunia.
Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)

Mereka secara tidak disadari mengingkari apa yang mereka ucapkan bahwa
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” (QS Al Fatihah : 1)
Sesungguhnya, “dengan menyebut nama Allah” itu adalah “dengan dzatNya”, bersama Allah, bertemu Allah, berlari kepada Allah (Fafirruu Ilallah).

Jadi, muslim yang berpuasa dan dapat mengalami, merasakan kegembiraan bertemu dengan Allah di dunia dan mengharapkan tetap bertemu dengan Allah di akhirat kelak  adalah mereka yang telah menjalankan puasa qalbu. Selama mereka berpuasa mereka melakukan secara sadar dan mengingat Allah. Mereka bersama Allah.

Buatlah perut-perutmu lapar dan qalbu-qalbumu haus dan badan-badanmu telanjang, mudah-mudah an qalbu kalian bisa melihat Allah di dunia ini (HR Bukhari).
Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin”
“Keselamatan semoga bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”
Wassalam
Readmore >>>

Melihat Puasa Menurut Pandangan Sufi




Berkatian dengan jenis dan tingkatan Puasa yang diungkapkan Imam al-Ghazali dalam tulisan saya sebelumnya, salah satu pandangan mengenai puasa yang berbeda dengan puasa kebanyakan adalah puasa dalam pandangan para sufi. Para Sufi berpandangan bahwa puasa adalah cara untuk menahan diri dari nafsu jasmani dan memutuskan hasrat-hasrat duniawi yang muncul dari pengaruh bisikan-bisikan syetan yang ditempatkan pada diri manusia.

Untuk menyikapi bisikan syetan itulah, Allah mengaruniakan hati kepada manusia. Hati adalah termasuk bala bantuan dari Allah, tetapi penganugrahan hati tersebut bisa saja malah bergabung dengan barisan syetan yang nantinya hanya akan membawa manusia menuju ke jurang kenistaan dan kehancuran.

Untuk menaklukan badan kepada jiwa, adalah perlu adanya cara yaitu dengan jalan melemahkan kekuatan badan demi meningkatkan kekuatan jiwa, dan hal itu telah dibuktikan dari berbagai penelitian para ahli. Hasilnya bahwa tiada sesuatu yang semanjur ini seperti lapar dan haus, pembuangan kemauan-kemauan hawa nafsu dan mengontrol lidah, hati (fikiran) dan anggota-anggota lain, selain dengan jalan berpuasa. Dari pandangan sufi ini, maka puasa memiliki fungsi untuk menghidupkan jiwa atau hati.

Syeikh Abdul Qadir al-Jailani dalam karyanya Sirr al-Asrar menyatakan bahwa bila seseorang berpuasa hendaknya mampu mengharmonikan kondisi lahir dan batinnya, seperti perutnya yang dikosongkan dari makan dan minum. Jadi harus ada keseimbangan antara puasa dari sisi syariat, dan puasa dari sisi ruhani.
Terkait dengan pendapat itu, Ghulam Mu’inuddin mengatakan, Puasa yang paling baik yaitu puasa dalam dimensi pikiran. Dengan kata lain, ketika puasa tidak memikirkan apapun kecuali Allah. Puasa yang dikerjakan juga meliputi pengendalian penglihatan dari segala pandangan yang mengarah pada kejelekan dan menjauhkan diri dari percakapan yang tidak bermanfaat seperti, berkata dusta, mefitnah, bicara tidak senonoh dan tindakan-tindakan yang berpura-pura. Singkatnya, orang-orang yang berpuasa seperti itu harus berupaya untuk berdiam diri, dan apabila mereka berkata-kata harus yang baik-baik sehingga jalan untuk mengingat kepada Allah semata akan lebih mudah.

Puasa dalam pandangan para sufi ini memang sangat sulit dilakukan dan hanya orang-orang yang sudah bisa memahami ibadah bukan sebagai perintah tetapi sudah pada taraf memahami ibadah secara hakikat, yang bisa melakukan puasa semacam ini.

Kita sebagai manusia kebanyakan tentu masih sulit melakukan puasa dalam pandangan para sufi ini. Hanya orang-orang tertentu yang telah mempunyai nilai ketakwan kuat dalam hati dan tingkah laku di mana dalam fikirannya yang ada hanya Allah semata tidak ada yang lain. Tetapi yang demikian itu puasa yang dimaksud oleh ajaran agama. Karena dengan jalan berpuasa yang demikian seseorang akan mampu merasakan dengan sebenar-benarnya manfaat dari pelaksanaan puasa. 

Puasa dalam pandangan para sufi ini memang sangat sulit dilakukan dan hanya orang-orang yang sudah bisa memahami ibadah bukan sebagai perintah tetapi sudah pada taraf memahami ibadah secara hakikat, yang bisa melakukan puasa semacam ini.

Kita sebagai manusia kebanyakan tentu masih sulit melakukan puasa dalam pandangan para sufi ini. Hanya orang-orang tertentu yang telah mempunyai nilai ketakwan kuat dalam hati dan tingkah laku di mana dalam fikirannya yang ada hanya Allah semata tidak ada yang lain. Tetapi yang demikian itu puasa yang dimaksud oleh ajaran agama. Karena dengan jalan berpuasa yang demikian seseorang akan mampu merasakan dengan sebenar-benarnya manfaat dari pelaksanaan puasa.






Readmore >>>

Rabu, 02 Juli 2014

Ramandhan Dalam Dimensi Sufi






Posoning rogo énténg dilakoni, cegah dahar lan ngombé jroning ari, ananging pasaning jiwa, iku kang kudhu dén reksa, tumindak asih sepining cela.
Artinya :
Puasa badan mudah dilakukan, mencegah makam dan minum sepanjang hari, namun puasa jiwa, itu yang seharusnya dijaga, menebar kasih sayang menjauhi pencelaan.

Semanten ugi pasaning ati, tumindak alus sarengé budi, supados ngunduh wohing pakerti, pilu mahasing sepi, mayu hayuning bumi.
Artinya :
Demikian pula puasa hati, sikap lemah lembut sebagai cermin kehalusan budi, supaya mendapat kebaikan sesuai dengan apa yang dingini, tiada harapan yang diinginkan, kecuali hanya ketentraman dan keselamatan dalam kehidupan.

Ramadhân terdiri dari lima huruf, Ra’, Mîm, Dhâd, Alîf, dan Nûn.

Hurup ra bermakna Rahmat, rahmat adalah irâdatu îshâalil khayr (Kehendak untuk menyambungkan kebaikan).
 Makna lain dari rahmat adalah riqqatun fil qalbi taqtadhî at-tafadhdhula wal-ihsâna (perasaan jiwa yang lembut yang melahirkan perbuatan yang baik dan luhur). Dalil yang menunjukkan rahmat dalam al-Quran: Q.S. Al-A’râf: 56, Q.S. Al-Anbiyâ: 107, Q.S. Fâthir: 2, Q.S. Az-Zukhrûf: 32, Q.S. Al-Hadîd: 27, Q.S. Az-Zumâr: 52, Q.S. Al-Isrâ: 82, Q.S. Âli Imrân: 158, dan Q.S. Yûnus: 58. Dalam ayat yang disebut terakhir (Yûnus: 58), Allah menyebutkan, bahwa disebabkan rahmat dan karunia Allah-lah kita mengalami segala hal, termasuk amal baik yang kita lakukan. Oleh karena itu,

Ibnu Athaillah As-Sakandari berkata: “Janganlah kamu merasa bahagia dengan ketaatan yang lahir darimu, tetapi berbahagialah karena ketaatan tersebut bersumber dari Allah”. Hal ini sesuai dengan firman Allah Q.S. Al-Takwîr: 29.

Huruf Mîm bermakna Murâqabah. Sesuai dengan firman Allah Q.S. Al-Ahzâb: 52. Ahmad Aljaririy berkata: “Barangsiapa yang tidak ada taqwa dan muraqabah antara dirinya dengan Allah, maka ia tidak akan sampai pada Kasyaf dan Musyahadah”. Menurut Imam Qusyairiy murâqabah sama dengan Ihsân, yang maksudnya selalu mawas diri dan merasa diperhatikan Allah Swt. Secara etimologi, Murâqabah berarti senantiasa memperhatikan yang dimaksud. Sedangkan secara terminologi, artinya adalah kesadaran untuk senatiasa memandang Allah dengan hati sanubari. Sebagian Ulama mengatakan: “barang siapa di dalam hatinya muraqabah terhadap Allah, maka Allah akan melindungi anggota tubuhnya”.

Huruf Dhâd maknanya Dhâllat, artinya kekayaan yang hilang. Kekayaan yang dimaksud adalah ilmu, sebagaimana yang dimaksud oleh Rasulullah Saw.: “Kekayaan yang hilang dari seorang mukmin adalah ilmu”. Ilmu menempatkan seseorang yang memilikinya pada posisi derajat yang tinggi (Q.S. Al-Mujâdalah: 11) bahkan menempati posisi setelah Allah dan malaikat-Nya (Q.S. Âli Imrân: 18).
Ibnu Ruslan menyatakan dalam bait Syairnya:

Jadilah seseorang yang selalu bertambah ilmu dan faham tiap saat#
Dan berenanglah di segara manfaat
Setiap orang yang beramal tanpa didasari ilmunya#
Amalnya tertolah tak diterima

Huruf Alîf maknanya Idznun atau izin. Menurut lughawi izin artinya al-I’lâm atau pemberitahuan. Sedangkan menurut istilah, idzin adalah terbukanya larangan bagi orang yang terlarang. Izin yang dimaksud di sini adalah izin Allah Swt., seperti izin yang diberikan Allah kepada Ruhul Amin (Jibril As.) untuk menurunkan al-Quran kepada hati Nabi Muhammad Saw. Firman Allah Q.S. Al-Bâqarah: 97. Di dalam Al-Quran banyak kata-kata yang merupakan musytaq (derivasi) dari kata idznun. Di antaranya idznillâh, idzni rabbihi, idznî rabbihâ, idzni rabbihim, atau idznî semuanya menunjukkan pada makna izin Allah Swt.

Huruf nûn maknanya nasyâth atau rajin. Nasyâth adalah lawan makna kaslân atau malas. Nasyâth adalah sifat orang mukmin, sedangkan kaslân adalah sifat munafiq. Firman Allah Q.S. Al-Nisâ: 142. Sifat nasyâth yang dimilki seorang mukmin lahir karena pengaruh dzikir Jahar yang dilakukan secara kontinyu bakda shalat fardhu. Dzikir jahar yang dimaksud adalah mengucapkan Lâ ilâha illallâh menurut tatacara yang diajarkan Rasulullah Saw. Dzikir ini dapat memperbaharui iman. Sabda Rasulullah Saw.: ”Perbaharuilah iman kalian dengan ucapan Lâ ilâha illallâh”. Dalil yang menunjukkan adanya dzikir jahar adalah Q.S. Al-A’râf: 204. Singkatnya, dzikir jahar disyariatkan dalam al-Quran, namun sayang, kebanyakan orang tidak mau tahu. Bahkan ada yang beranggapan bahwa orang yang berdzikir jahar adalah orang yang gila. Firman Allah Q.S. Al-Qalâm: 51.

 
Readmore >>>

Selasa, 17 Juni 2014

Wayang Kulit Tergerus Arus Globalisasi


Praktisi budaya A Prayitno mengatakan kesenian tradisional wayang kulit saat ini semakin terdesak oleh globalisasi karena itu harus dilakukan upaya pelestarian kebudayaan tersebut.

"Saat ini kesenian wayang kulit di Tanah Air sudah semakin terdesak dengan kesenian modern. Sehingga masyarakat dalam hal ini generasi muda harus kembali dibangkitkan untuk kembali belajar tentang kesenian tersebut," katanya di sela-sela kegiatan "Wayang for Student" di Ubud, Bali, Selasa (15/4).
Menurut pemilik Museum Topeng dan Wayang Setia Darma Prayitno itu, jika tidak mulai sekarang diperkenalkan kepada anak-anak, mulai dari tingkat SD hingga SMA, maka kebudayaan khas bangsa ini akan langka dan punah.

"Generasi muda untuk mengetahui wayang kulit saat ini sudah mulai bergeser dengan kebudayaan modern, seperti yang ditayangkan kebanyakan televisi. Dengan demikian secara tidak langsung pemikirannya juga akan bergeser dengan kebudayaan adi luhung tersebut," katanya.
Oleh karena itu, peran pemerintah dan perusahaan swasta harus mampu berperan aktif dalam melestarikan kebudayaan wayang kulit itu.

"Lihat saja generasi muda yang menekuni pedalangan sangat sedikit prosentasenya dibanding jumlah generasi penerus yang ada di Indonesia. Karena itu peran pembinaan dan pelestarian harus terus digalakkan," ucap Prayitno yang memiliki koleksi ratusan topeng dan wayang dari berbagai daerah dan negara di dunia ini.
Ia mengatakan pihaknya salut dengan perusahaan swasta, seperti Bank BCA yang peduli terhadap pelestarian wayang kulit ini dengan melakukan program pengenalan wayang kulit terhadap pelajar.
"Saya berharap perusahaan swasta lainnya agar tergerak untuk melakukan langkah seperti yang dilakukan Bank BCA saat ini, yakni pelestarian wayang kulit itu," katanya.

Komisaris Independen BCA Cyrillus Harinowo mengatakan pihaknya akan terus berupaya melakukan pelestarian kebudayaan wayang tersebut.

"Pelestarian yang dilakukan melalui dana CSR perusahaan itu, kami melakukan program pelestarian wayang kulit. Tahun lalu di tempat ini (Museum Topeng dan Wayang) menggelar lokakarya tentang wayang kulit yang diikuti dari sejumlah daerah di Indonesia dan beberapa peserta dari luar negeri," katanya.
Namun kali ini sebagai keberlanjutan program adalah mengenalkan wayang kulit kepada pelajar di Bali. Sebelumnya kami juga mengenalkan wayang di mal di Jakarta. Sambutan dan antusias masyarakat terhadap wayang luar biasa.

"Artinya masyarakat sebenarnya masih peduli dengan kesenian wayang kulit tersebut. Namun ditengah zaman modern tersebut harus dibarengi dengan sentuhan teknologi kekinian, sehingga kesenian tersebut menarik warga untuk mempelajari," katanya.

Selain itu, kata dia, pihaknya juga memberikan beasiswa terhadap ki dalang anak-anak, dengan tujuan mereka selain belajar formal juga mempelajari wayang kulit di luar jam sekolahnya.
"Beasiswa itu juga sudah kami serahkan kepada sejumlah ki dalang anak-anak yang dianggap layak dan memiliki talenta dalam kesenian wayang kulit tradisional tersebut. Dan kami pun bekerja sama dengan Kompas TV untuk menayangkan kesenian wayang kulit sejak setahun lalu," katanya.
Readmore >>>

Evolusi Wayang


Sejak didirikan 34 tahun lampau, tata ruang Museum Wayang nyaris tidak berubah. Kondisi di bagian dalam gedung yang terletak di jantung Kota Tua Jakarta itu suram dengan cat dinding yang mulai pudar kecemerlangannya. Debu terdapat hampir di mana-mana, melekat pada lemari kaca di mana koleksi-koleksi wayang dipajang. Kesuraman makin ditambah dengan penerangan lampu yang redup.
Pagi itu, sekitar 100 orang berlalu lalang di pelataran museum yang sekaligus menjadi pelataran Museum Fatahilah. Tidak ada alat bantu “navigasi” yang menandai keberadaan Museum Wayang agar mudah dikenali orang—misalnya dengan gambar kayon (gunungan). Masih beruntung, dari sekitar 100 orang pagi itu, ada sekitar 12 orang yang tertarik untuk masuk ke Museum Wayang. Jumlah tamu baru bertambah dua ketika Matahari tepat berada di atas langit Kota Tua.

Mengenai jumlah pengunjung, Kepala Museum Wayang Dachlan menyampaikan, sebanyak 41.264 karcis terjual sepanjang tahun lalu. Itu sudah termasuk rombongan pelajar yang mendapat tugas berkunjung dari sekolah mereka. Jika dipukul rata, gedung itu hanya dikunjungi 113 orang per hari, lebih sedikit dari kapasitas kursi dua bus kota.
Dengan jumlah tersebut, museum ini menempati urutan ketiga untuk jumlah pengunjung museum-museum yang dikelola Pemda DKI Jakarta. Urutan pertama diduduki Monumen Nasional (Monas) diikuti Museum Sejarah, baru kemudian Museum Wayang. “Sudah lumayan, namun masih harus ditingkatkan lagi. Rencananya tahun 2009 ini kami akan merombak tata ruang dan menambah pentas yang didukung multimedia,” kata Dachlan.

Seperti museumnya yang terus bergulat untuk mendongkrak jumlah pengunjung, kesenian wayang yang enam tahun silam didaulat UNESCO sebagai World Master Piece of Oral and Intangible Heritage of Humanity juga menghadapi tantangan dalam mempertahankan popularitas dirinya dari masa ke masa.

Menurut penelusuran Sekretariat Pewayangan Indonesia (Senawangi), seni wayang dimiliki oleh tidak kurang dari 18 provinsi negeri ini. Namun, cuma seni wayang gaya (gagrag) tertentu yang mampu hidup, berkembang, memiliki penikmat dalam jumlah yang banyak, serta memberikan kehidupan yang layak kepada para pelakunya.
Senawangi mencatat, Wayang Bali, Wayang Kulit Jawatimuran, Surakarta, Yogyakarta, serta Wayang Golek Sunda merupakan jenis-jenis wayang yang lestari dan tetap mengalami perkembangan. Sementara itu Wayang Sasak, Wayang Golek Menak, dan Wayang Kulit Cirebon berkembang lamban. Yang rapornya merah adalah Wayang Palembang dan Wayang Banjar. Keduanya dinilai nyaris punah.

Apa yang dibutuhkan agar suatu jenis seni wayang mampu terus hidup di tengah-tengah perubahan zaman?

Sudarko Prawiroyudo, salah satu ketua Senawangi mengatakan, wayang bisa tetap bertahan jika kesenian ini digarap sungguh-sungguh oleh para pelakunya. “Artinya harus mempersiapkan diri dengan baik. Sanggit atau kreativitas dalang dalam mengolah cerita perlu digarap, gendingnya digarap, tata panggung dan tata suaranya juga digarap. Yang tidak kalah penting, penontonnya sendiri juga harus digarap,” katanya.

Hanya saja, sejumlah dalang muda pernah menyampaikan, menggarap penonton itulah sebenarnya tantangan pelestarian wayang yang sesungguhnya. Pasalnya mereka menilai, sebuah pertunjukan wayang selalu diidentikkan dengan kepatuhan terhadap pakem atau standar yang membatasi kreativitas dan hanya membuat tontonan menjadi monoton, membosankan, tidak menarik, sehingga tidak mampu menyedot penonton. Jumlah penontonlah ukuran yang paling mudah untuk mengukur peluang wayang dalam mempertahankan kelestariannya. Terutama pada zaman seperti sekarang ini, di mana arus informasi dan hiburan modern mengalir deras.

***

Sebuah anjungan Taman Mini Indonesia Indah, sekitar 20 kilometer di selatan museum, mulai direngkuh malam tatkala para pengrawit mengawali tabuhan gamelan sebagai tanda pertunjukan wayang kulit segera dimulai. Penonton pun perlahan bergerak mendekati tarub, tempat pertunjukan wayang.

Dilihat dari jumlah bala pendukungnya, ini pentas akbar. Tidak kurang dari 50 pengrawit, 10 penggerong, dan 50 sinden yang cantik jelita berderet empat baris di sisi kiri panggung, menghadap penonton. Ini bukanlah tata krama yang lazim dalam pentas wayang karena seharusnya, para kru pendukung tersebut duduk membelakangi penonton.

Beberapa gending pun dipersembahkan sebelum dalang yang menjadi sosok kunci pentas wayang memasuki panggung. Seperti biasa, tempat dalang dalam pementasan selalu istimewa. Namun, kali ini penghormatan terhadap dalang sungguh luar biasa. Bayangkan, baginya terbentang kelir (layar tempat memainkan wayang) sepanjang 32 meter! Ternyata, kelir sepanjang itu disediakan bagi tiga orang dalang sekaligus.

Pentas dengan tiga dalang yang memainkan satu lakon sekaligus bukanlah hal yang jamak dalam pertunjukan wayang kulit. Telah ratusan tahun lekat dalam benak masyarakat, seorang dalang—hanya seorang—adalah penguasa tunggal pentas seni wayang konvensional atau klasik. Meski banyak yang terlihat janggal, tak kurang dari 5.000 penonton memadati anjungan tersebut dan terus bertambah sampai pada adegan gara-gara.

***

Seorang dalang tenar, Ki Enthus Susmono, menganggap bahwa inovasi dalam pentas wayang memang dibutuhkan agar tetap bertahan di zaman yang kian modern. “Pakem itu bikinan juga ‘kan? Lalu mengapa kita tidak boleh memakai cara sendiri? Menurut saya, dalang itu menggambarkan kehidupan. Kalau misalnya waktu pentas saya ngomong rusuh (jorok), yang ngomong ‘kan bukan saya, melainkan tokoh wayangnya. Dalam kehidupan ‘kan memang ada yang ngomong jorok. Toh itu diterima penonton. Lihat saja kalau saya mendalang, yang nonton bisa puluhan ribu,” katanya.

Saat pentas, Enthus juga kerap menjadikan sinden atau pengrawitnya sebagai bahan guyonan. Mereka bahkan saling meledek. Komunikasi langsung antarpendukung di atas pentas—juga menjadi bagian dari pementasan—seperti itu sama sekali bukan bagian dari baku atau pakem seni wayang konvensional atau klasik di mana para pendukung selalu duduk takzim hingga gilirannya bertugas, menyanyi atau menabuh gamelan, tiba.

Apa yang dilakukan oleh Enthus itu dapat diibaratkan sebuah konser musik klasik yang tiap-tiap musisinya tertib dalam memainkan bagian mereka—juga tidak memainkan—tiba-tiba masing-masing meledak dalam improvisasi ala musik jazz.

Apa yang dilakukan Enthus tak lain adalah kiat menahan penikmat wayang agar tetap duduk di tikar mereka sampai pertunjukan berakhir. Upaya seperti itu juga menjadi salah satu motivasi banyak dalang untuk memodifikasi pementasan mereka. Sebuah upaya yang juga didukung oleh Djoko Suryo, sejarawan sekaligus Guru Besar Universitas Gadjah Mada.

“Tentu pendekatannya harus lebih tajam dan kontekstual dengan masa kini. Dari segi filosofi dan kultural, wayang masih relevan. Pakem itu bisa terus dipakai, tetapi perlu kreativitas penciptaan modus dan pendekatan agar mengarah kepada pendidikan moral,” kata Djoko.

Alhasil sejak akhir 1980-an, pentas dengan tiga, empat, lima, dan bahkan sepuluh orang dalang sudah bukan sesuatu yang mustahil dalam pertunjukan wayang kulit. Tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Hal serupa juga terlihat dalam pentas wayang golek Sunda.

Tidak berhenti hanya sampai di sana, kreativitas para pelaku dalang dalam memodifikasi wayang merambah ke berbagai segi kesenian itu sendiri. Dari sisi perangkat pentas, panggung juga ada yang diset megah dengan kelir lebar. Wayang pun banyak yang cat dasarnya menggunakan warna emas untuk menambah kesan megah, tidak lagi warna asli kulit samakan.

Blencong, lampu minyak tanah yang ditempatkan di atas dalang dan sempat diganti lampu petromaks, sekarang sudah jarang terlihat. Lampu sorot ribuan watt yang membuat mata penonton nyaman adalah gantinya. Belum lagi efek pencahayaan juga sudah makin canggih: menggunakan sinar laser. Sebagian besar dalang muda, seperti Ki Warseno Sleng, Ki Bagong Darmono, Ki Sigid Arianto, dan juga dalang muda di Bali, Ki Wayan Nardayana sudah memanfaatkan teknologi ini.

”Saya memulainya pada akhir 1990-an karena terinspirasi dalang-dalang di Jawa. Yang memperkenalkan ini adalah Dru Wendro, dalang dari Solo yang menjadi dosen di Institut Seni Indonesia Denpasar. Kami sempat pentas bersama. Ternyata dengan efek sinar laser, pentas jadi tampak meriah karena suasana di kelir terkesan gemerlap,” ujar Nardayana.
Kreasi seperti itu dapat dilihat hampir di ujung timur Pulau Jawa, di kota kecil Jember, tempat dalang muda Edy Siswanto memainkan wayang-wayang kulitnya yang berukuran jauh lebih besar dari biasa. Edy menggunakan overhead projector untuk memasukkan ilustrasi gambar hidup di kelir, lengkap dengan rekaman suaranya. Misalnya gambar halilintar saat adegan Gatutkaca terbang di angkasa atau gambar air terjun saat tokoh wayang sedang bertapa. Lewat kiatnya itu, wayang tak lagi beraksi di depan latar kain putih nan polos yang hanya berhiaskan bayang-bayang yang dibiaskan cahaya sentir.

Lain halnya lagi dengan Ki Seno Nugroho. “Saya mengambil langkah yang cukup ekstrem. Saya memadukan dua gagrag sekaligus, Ngayogyakarta dan Surakarta. Dua gaya ini ‘kan tidak pernah ketemu, tetapi saya gabungkan di pentas saya. Ternyata sambutannya luar biasa. Hampir di setiap pentas penontonnya ribuan,” aku Ki Seno Nugroho yang menetap di Bantul, Yogyakarta.

Ke timur Jawa menyeberangi Bali, kreativitas dan usaha keras menghidupkan pentas Wayang Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat dilalui Ki Lalu Nasib—dalang paling eksis di Lombok saat ini. Ketika mengawali kariernya sebagai dalang Wayang Sasak, dia mengaku kesulitan mendapat respon penonton karena bahasanya menggunakan Bahasa Sasak dan Jawa Kawi. Berbeda dengan Wayang Purwa (Jawa dan Bali), yang mengambil sumber cerita pada epos Mahabharata dan Ramayana, Wayang Sasak mengambil sumber Serat Menak (karya sastra kuno Nusantara) dan kakawin (puisi jawa kuno) untuk lakon carangan dengan iringan gamelan Bali.

“Saat mendalang saya menggunakan bahasa campuran dengan Bahasa Indonesia. Kalau tidak begitu, tidak bisa dipahami penonton. Saya juga membuat kreasi pada bentuk wayang, misalnya senapan, helikopter dan banyak lagi bentuk-bentuk lain agar tidak monoton,” ujar Ki Lalu Nasib.

***

Merunut jauh ke belakang lorong waktu, sejatinya, wayang tak lepas dari perubahan, perlahan maupun mengentak. Awalnya, wayang adalah bagian dari kegiatan religi animisme menyembah kepada “Hyang” (Tuhan). “Kegiatan religi itu dilakukan berkaitan dengan upaya masyarakat agraris mensyukuri berkah dari Sang Hyang atas sukses panen, misalnya,” jelas Djoko Suryo.

Menurut Serat Centhini, kitab awal abad ke-19 yang dianggap sebagai ensklopedi budaya Jawa yang pertama di dunia—diprakarsai Pangeran Adipati Anom Amangkunegara, kehadiran wayang bermula pada zaman Sri Aji Jayabaya (hingga tahun 860). Karya penguasa Kerajaan Mamenang itu dianggap sebagai tunas Wayang Purwa. Bentuknya masih berupa gambar yang ditorehkan di atas daun tal (rontal atau lontar) dengan lakon diambil dari tradisi lisan.

Lewat tahun 1120, penerus Lembu Amiluhur di Kerajaan Jenggala, Sri Suryawisesa, melanjutkan tradisi itu dan membuat gambar Wayang Purwa yang lebih besar di lembar lontar. Sri Suryawisesa pun mulai menyusun cerita baru yang kemudian dibakukan. Wayang berbentuk gambar di daun Tal itu pun menjadi tradisi yang penuturannya mulai diiringi dengan gamelan pada tahun 1145.

Seiring perjalanan waktu, gambar wayang pun bervariasi dan dalam penuturan cerita, mulai digunakan bahasa Kawi disertai sulukan (tembang) yang diiringi gamelan. Jadilah wayang sebagai bagian ritual yang digemari kawula kerajaan di Jawa kuno itu. Setiap ada perayaan atau upacara kerajaan, Sang Rajalah yang menjadi dalang. Alhasil, pentas wayang menjadi media bagi Sang Raja menyampaikan titah.
Pada era Suryaamiluhur sang penerus, tradisi wayang menjadi bagian dari ritual pemujaan dewata. Perubahan gambar wayang pun terjadi lagi menjadi bentuk fragmen sesuai alur cerita pada lembaran kertas memanjang dan dapat digulung yang kemudian di abad ke-12 itu dinamai Wayang Beber.

Di abad ke-15 seiring masuknya Islam dan berdirinya Kerajaan Demak (1500-1550), terjadi abstraksi bentuk karena gambar wayang yang ada berbenturan dengan ajaran Islam sehingga Raden Patah yang didukung Sunan Bonang mengubah bentuk wayang. Bahkan masing-masing dari wali yang sembilan menambahkan bentuk baru, termasuk Sunan Kalijaga yang mengubah sarana pertunjukan dari kayu menjadi batang pisang dilengkapi blencong, kotak wayang, dan gunungan.

Pada era Mataram Islam, Sultan Agung Anyakrawati menambahkan unsur gerak pada wayang kulit. Pundak, siku, dan pergelangan wayang mulai diberi sendi posisi tangan. Wayang mulai memiliki wanda (bentuk).

***

Kembali ke abad informasi digital ini, pada kenyataannya masih banyak dalang yang bersikukuh mengusung mazhab klasik meski krisis global turut membuat aktivitas pentas melorot drastis. Ki Anom Suroto yang menjadi salah satu pemegang teguh pakem terus melanjutkan tradisi lama yang sudah dilakukan puluhan tahun di rumahnya, yakni pentas wayang setiap malam Rabu Legi.

“Rutin setiap selapan (35 hari) sekali selalu ada wayangan di rumah. Ini juga salah satu upaya untuk melestarikan wayang. Dalang yang tampil adalah teman-teman. Kami berharap kesempatan itu dimanfaatkan untuk sarasehan memperdalam wawasan kita tentang pakeliran (pertunjukan wayang)” ujar Anom. Dia ingin menepis anggapan yang menyebutkan pakem hanya akan membatasi.

Bagi para dalang klasik, pakem wayang tetap harus dihormati dan itu tak membuat mereka khawatir tidak “laku” karena yakin, dalang klasik tetap memiliki ruang yang luas untuk berkreasi. “Bahkan kita lebih dituntut untuk kreatif, tetapi tetap memperhatikan pakem yang ada,” tutur Anom menandaskan.

Anom tak terlalu risau pada perbedaan pemahaman tentang pertunjukan wayang. “Wayang adalah gambaran kehidupan manusia. Pentas wayang itu bukan hanya untuk hiburan, melainkan juga memuat tuntunan yang adiluhung,” kata Anom. “Itu saja yang saya harap dan sampai saat ini saya pegang teguh.”

Anom bertumpu pada harapan. Keteguhan yang dipegang Anom ataupun kreativitas dalang muda adalah harapan bahwa wayang yang langka, bernasib malang, dan terpinggirkan sebenarnya masih punya potensi berkembang.
Readmore >>>

Senin, 16 Juni 2014

Sunan Kalijaga Dan Wayang Kulit

Kesenian Wayang Kulit merupakan Seni Pertunjukan  yang menjadi Warisan Seni Budaya Indonesia yang paling menonjol diantara Warisan Budaya lainnya yang ada di Indonesia, Kesenian asli Pulau Jawa ini bisa dikatakan telah mewakili hampir semua bidang Seni yang di gelar dalam satu pertunjukan, diantaranya Seni Peran, Seni Musik, Seni Rupa serta Sastra. Wayang kulit adalah Kesenian Indonesia yang sangat tua yang telah berusia lebih dari lima abad.
Menurut para ahli Sejarah, Wayang Kulit telah ada di Indonesia jauh sebelum Agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.
Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para budayawan In­donesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk mem­perkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.
Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata “mawa­yang” dan `aringgit’ yang maksudnya adalah Per­tunjukan Wayang.
Untuk lebih menjawakan Budaya Wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada

Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah cerita­cerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.
Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.
Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.
Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam Budaya Bangsa Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta Ramayana benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa pun menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di pulau Jawa.
Sunan Kalijaga adalah salah seorang kreator ulung yang mampu memadukan kreasi seni budaya dalam membingkai suatu persembahan budaya yang penuh dengan nilai-nilai dan kreasi yang disesuaikan dengan minat dan kondisi masyarakatnya. Berbekal dengan kearifannya, Sunan Kaljaga mencoba untuk masuk dalam konstruksi filosofi masyarakat dalam kontur budaya yang bernilai agung. Diciptakanlah bentuk ukiran wayang kulit dengan ilustrasi wayang yang mampu menggambarkan sosok dalam sebuah ranah kehidupan manusia. Kreasi wayang kulit yang diciptakannya dipentaskan dengan membangunkan kesadaran para penikmatnya bahwa manusia itu adalah mahluk Tuhan dengan segala kreasi dan perbuatannya akan berkonsekwensi terhadap baik dan buruknya. Dan dengan penuh kearifan Sunan Kalijaga Mencoba mengadopsi dan mengkonstruksi budaya dengan memasukkan nilai-nilai luhur yang dibawanya, dan pada akhirnya pelan namun pasti nampaknya kreasi seni budaya yang diciptakannya mampu mewarnai kontruksi budaya maupun perubahan sosial khususnya konstruksi budaya maupun sosial di Jawa.
Sunan Kalijaga yang menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk dianggap berhasil dan sangat diterima masyarakat. Langkah-langkahnya dengan seni budaya mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari banyak kalangan dari rakyat jelata sampai penguasa pada zamannya
Readmore >>>