• Pagelaran Wayang Kulit
  • Dalang Tribasa
  • Pakeliran Wayang Purwa
  • Dalang Tribasa
  • Dalang Intertain
  • Tri Bayu Santoso
  • Dalang Inovatif
  • Pelaku Budaya
  • Youtube
  • Facebook
  • Twitter
  • Blogger
  • Saoundcould
  • Foursquare
  • Instagram
  • Pagelaran Wayang Kulit

Kamis, 03 Juli 2014

Melihat Puasa Menurut Pandangan Sufi




Berkatian dengan jenis dan tingkatan Puasa yang diungkapkan Imam al-Ghazali dalam tulisan saya sebelumnya, salah satu pandangan mengenai puasa yang berbeda dengan puasa kebanyakan adalah puasa dalam pandangan para sufi. Para Sufi berpandangan bahwa puasa adalah cara untuk menahan diri dari nafsu jasmani dan memutuskan hasrat-hasrat duniawi yang muncul dari pengaruh bisikan-bisikan syetan yang ditempatkan pada diri manusia.

Untuk menyikapi bisikan syetan itulah, Allah mengaruniakan hati kepada manusia. Hati adalah termasuk bala bantuan dari Allah, tetapi penganugrahan hati tersebut bisa saja malah bergabung dengan barisan syetan yang nantinya hanya akan membawa manusia menuju ke jurang kenistaan dan kehancuran.

Untuk menaklukan badan kepada jiwa, adalah perlu adanya cara yaitu dengan jalan melemahkan kekuatan badan demi meningkatkan kekuatan jiwa, dan hal itu telah dibuktikan dari berbagai penelitian para ahli. Hasilnya bahwa tiada sesuatu yang semanjur ini seperti lapar dan haus, pembuangan kemauan-kemauan hawa nafsu dan mengontrol lidah, hati (fikiran) dan anggota-anggota lain, selain dengan jalan berpuasa. Dari pandangan sufi ini, maka puasa memiliki fungsi untuk menghidupkan jiwa atau hati.

Syeikh Abdul Qadir al-Jailani dalam karyanya Sirr al-Asrar menyatakan bahwa bila seseorang berpuasa hendaknya mampu mengharmonikan kondisi lahir dan batinnya, seperti perutnya yang dikosongkan dari makan dan minum. Jadi harus ada keseimbangan antara puasa dari sisi syariat, dan puasa dari sisi ruhani.
Terkait dengan pendapat itu, Ghulam Mu’inuddin mengatakan, Puasa yang paling baik yaitu puasa dalam dimensi pikiran. Dengan kata lain, ketika puasa tidak memikirkan apapun kecuali Allah. Puasa yang dikerjakan juga meliputi pengendalian penglihatan dari segala pandangan yang mengarah pada kejelekan dan menjauhkan diri dari percakapan yang tidak bermanfaat seperti, berkata dusta, mefitnah, bicara tidak senonoh dan tindakan-tindakan yang berpura-pura. Singkatnya, orang-orang yang berpuasa seperti itu harus berupaya untuk berdiam diri, dan apabila mereka berkata-kata harus yang baik-baik sehingga jalan untuk mengingat kepada Allah semata akan lebih mudah.

Puasa dalam pandangan para sufi ini memang sangat sulit dilakukan dan hanya orang-orang yang sudah bisa memahami ibadah bukan sebagai perintah tetapi sudah pada taraf memahami ibadah secara hakikat, yang bisa melakukan puasa semacam ini.

Kita sebagai manusia kebanyakan tentu masih sulit melakukan puasa dalam pandangan para sufi ini. Hanya orang-orang tertentu yang telah mempunyai nilai ketakwan kuat dalam hati dan tingkah laku di mana dalam fikirannya yang ada hanya Allah semata tidak ada yang lain. Tetapi yang demikian itu puasa yang dimaksud oleh ajaran agama. Karena dengan jalan berpuasa yang demikian seseorang akan mampu merasakan dengan sebenar-benarnya manfaat dari pelaksanaan puasa. 

Puasa dalam pandangan para sufi ini memang sangat sulit dilakukan dan hanya orang-orang yang sudah bisa memahami ibadah bukan sebagai perintah tetapi sudah pada taraf memahami ibadah secara hakikat, yang bisa melakukan puasa semacam ini.

Kita sebagai manusia kebanyakan tentu masih sulit melakukan puasa dalam pandangan para sufi ini. Hanya orang-orang tertentu yang telah mempunyai nilai ketakwan kuat dalam hati dan tingkah laku di mana dalam fikirannya yang ada hanya Allah semata tidak ada yang lain. Tetapi yang demikian itu puasa yang dimaksud oleh ajaran agama. Karena dengan jalan berpuasa yang demikian seseorang akan mampu merasakan dengan sebenar-benarnya manfaat dari pelaksanaan puasa.






Readmore >>>

Rabu, 02 Juli 2014

Ramandhan Dalam Dimensi Sufi






Posoning rogo énténg dilakoni, cegah dahar lan ngombé jroning ari, ananging pasaning jiwa, iku kang kudhu dén reksa, tumindak asih sepining cela.
Artinya :
Puasa badan mudah dilakukan, mencegah makam dan minum sepanjang hari, namun puasa jiwa, itu yang seharusnya dijaga, menebar kasih sayang menjauhi pencelaan.

Semanten ugi pasaning ati, tumindak alus sarengé budi, supados ngunduh wohing pakerti, pilu mahasing sepi, mayu hayuning bumi.
Artinya :
Demikian pula puasa hati, sikap lemah lembut sebagai cermin kehalusan budi, supaya mendapat kebaikan sesuai dengan apa yang dingini, tiada harapan yang diinginkan, kecuali hanya ketentraman dan keselamatan dalam kehidupan.

Ramadhân terdiri dari lima huruf, Ra’, Mîm, Dhâd, Alîf, dan Nûn.

Hurup ra bermakna Rahmat, rahmat adalah irâdatu îshâalil khayr (Kehendak untuk menyambungkan kebaikan).
 Makna lain dari rahmat adalah riqqatun fil qalbi taqtadhî at-tafadhdhula wal-ihsâna (perasaan jiwa yang lembut yang melahirkan perbuatan yang baik dan luhur). Dalil yang menunjukkan rahmat dalam al-Quran: Q.S. Al-A’râf: 56, Q.S. Al-Anbiyâ: 107, Q.S. Fâthir: 2, Q.S. Az-Zukhrûf: 32, Q.S. Al-Hadîd: 27, Q.S. Az-Zumâr: 52, Q.S. Al-Isrâ: 82, Q.S. Âli Imrân: 158, dan Q.S. Yûnus: 58. Dalam ayat yang disebut terakhir (Yûnus: 58), Allah menyebutkan, bahwa disebabkan rahmat dan karunia Allah-lah kita mengalami segala hal, termasuk amal baik yang kita lakukan. Oleh karena itu,

Ibnu Athaillah As-Sakandari berkata: “Janganlah kamu merasa bahagia dengan ketaatan yang lahir darimu, tetapi berbahagialah karena ketaatan tersebut bersumber dari Allah”. Hal ini sesuai dengan firman Allah Q.S. Al-Takwîr: 29.

Huruf Mîm bermakna Murâqabah. Sesuai dengan firman Allah Q.S. Al-Ahzâb: 52. Ahmad Aljaririy berkata: “Barangsiapa yang tidak ada taqwa dan muraqabah antara dirinya dengan Allah, maka ia tidak akan sampai pada Kasyaf dan Musyahadah”. Menurut Imam Qusyairiy murâqabah sama dengan Ihsân, yang maksudnya selalu mawas diri dan merasa diperhatikan Allah Swt. Secara etimologi, Murâqabah berarti senantiasa memperhatikan yang dimaksud. Sedangkan secara terminologi, artinya adalah kesadaran untuk senatiasa memandang Allah dengan hati sanubari. Sebagian Ulama mengatakan: “barang siapa di dalam hatinya muraqabah terhadap Allah, maka Allah akan melindungi anggota tubuhnya”.

Huruf Dhâd maknanya Dhâllat, artinya kekayaan yang hilang. Kekayaan yang dimaksud adalah ilmu, sebagaimana yang dimaksud oleh Rasulullah Saw.: “Kekayaan yang hilang dari seorang mukmin adalah ilmu”. Ilmu menempatkan seseorang yang memilikinya pada posisi derajat yang tinggi (Q.S. Al-Mujâdalah: 11) bahkan menempati posisi setelah Allah dan malaikat-Nya (Q.S. Âli Imrân: 18).
Ibnu Ruslan menyatakan dalam bait Syairnya:

Jadilah seseorang yang selalu bertambah ilmu dan faham tiap saat#
Dan berenanglah di segara manfaat
Setiap orang yang beramal tanpa didasari ilmunya#
Amalnya tertolah tak diterima

Huruf Alîf maknanya Idznun atau izin. Menurut lughawi izin artinya al-I’lâm atau pemberitahuan. Sedangkan menurut istilah, idzin adalah terbukanya larangan bagi orang yang terlarang. Izin yang dimaksud di sini adalah izin Allah Swt., seperti izin yang diberikan Allah kepada Ruhul Amin (Jibril As.) untuk menurunkan al-Quran kepada hati Nabi Muhammad Saw. Firman Allah Q.S. Al-Bâqarah: 97. Di dalam Al-Quran banyak kata-kata yang merupakan musytaq (derivasi) dari kata idznun. Di antaranya idznillâh, idzni rabbihi, idznî rabbihâ, idzni rabbihim, atau idznî semuanya menunjukkan pada makna izin Allah Swt.

Huruf nûn maknanya nasyâth atau rajin. Nasyâth adalah lawan makna kaslân atau malas. Nasyâth adalah sifat orang mukmin, sedangkan kaslân adalah sifat munafiq. Firman Allah Q.S. Al-Nisâ: 142. Sifat nasyâth yang dimilki seorang mukmin lahir karena pengaruh dzikir Jahar yang dilakukan secara kontinyu bakda shalat fardhu. Dzikir jahar yang dimaksud adalah mengucapkan Lâ ilâha illallâh menurut tatacara yang diajarkan Rasulullah Saw. Dzikir ini dapat memperbaharui iman. Sabda Rasulullah Saw.: ”Perbaharuilah iman kalian dengan ucapan Lâ ilâha illallâh”. Dalil yang menunjukkan adanya dzikir jahar adalah Q.S. Al-A’râf: 204. Singkatnya, dzikir jahar disyariatkan dalam al-Quran, namun sayang, kebanyakan orang tidak mau tahu. Bahkan ada yang beranggapan bahwa orang yang berdzikir jahar adalah orang yang gila. Firman Allah Q.S. Al-Qalâm: 51.

 
Readmore >>>