• Pagelaran Wayang Kulit
  • Dalang Tribasa
  • Pakeliran Wayang Purwa
  • Dalang Tribasa
  • Dalang Intertain
  • Tri Bayu Santoso
  • Dalang Inovatif
  • Pelaku Budaya
  • Youtube
  • Facebook
  • Twitter
  • Blogger
  • Saoundcould
  • Foursquare
  • Instagram
  • Pagelaran Wayang Kulit

Rabu, 02 Juli 2014

Ramandhan Dalam Dimensi Sufi






Posoning rogo énténg dilakoni, cegah dahar lan ngombé jroning ari, ananging pasaning jiwa, iku kang kudhu dén reksa, tumindak asih sepining cela.
Artinya :
Puasa badan mudah dilakukan, mencegah makam dan minum sepanjang hari, namun puasa jiwa, itu yang seharusnya dijaga, menebar kasih sayang menjauhi pencelaan.

Semanten ugi pasaning ati, tumindak alus sarengé budi, supados ngunduh wohing pakerti, pilu mahasing sepi, mayu hayuning bumi.
Artinya :
Demikian pula puasa hati, sikap lemah lembut sebagai cermin kehalusan budi, supaya mendapat kebaikan sesuai dengan apa yang dingini, tiada harapan yang diinginkan, kecuali hanya ketentraman dan keselamatan dalam kehidupan.

Ramadhân terdiri dari lima huruf, Ra’, Mîm, Dhâd, Alîf, dan Nûn.

Hurup ra bermakna Rahmat, rahmat adalah irâdatu îshâalil khayr (Kehendak untuk menyambungkan kebaikan).
 Makna lain dari rahmat adalah riqqatun fil qalbi taqtadhî at-tafadhdhula wal-ihsâna (perasaan jiwa yang lembut yang melahirkan perbuatan yang baik dan luhur). Dalil yang menunjukkan rahmat dalam al-Quran: Q.S. Al-A’râf: 56, Q.S. Al-Anbiyâ: 107, Q.S. Fâthir: 2, Q.S. Az-Zukhrûf: 32, Q.S. Al-Hadîd: 27, Q.S. Az-Zumâr: 52, Q.S. Al-Isrâ: 82, Q.S. Âli Imrân: 158, dan Q.S. Yûnus: 58. Dalam ayat yang disebut terakhir (Yûnus: 58), Allah menyebutkan, bahwa disebabkan rahmat dan karunia Allah-lah kita mengalami segala hal, termasuk amal baik yang kita lakukan. Oleh karena itu,

Ibnu Athaillah As-Sakandari berkata: “Janganlah kamu merasa bahagia dengan ketaatan yang lahir darimu, tetapi berbahagialah karena ketaatan tersebut bersumber dari Allah”. Hal ini sesuai dengan firman Allah Q.S. Al-Takwîr: 29.

Huruf Mîm bermakna Murâqabah. Sesuai dengan firman Allah Q.S. Al-Ahzâb: 52. Ahmad Aljaririy berkata: “Barangsiapa yang tidak ada taqwa dan muraqabah antara dirinya dengan Allah, maka ia tidak akan sampai pada Kasyaf dan Musyahadah”. Menurut Imam Qusyairiy murâqabah sama dengan Ihsân, yang maksudnya selalu mawas diri dan merasa diperhatikan Allah Swt. Secara etimologi, Murâqabah berarti senantiasa memperhatikan yang dimaksud. Sedangkan secara terminologi, artinya adalah kesadaran untuk senatiasa memandang Allah dengan hati sanubari. Sebagian Ulama mengatakan: “barang siapa di dalam hatinya muraqabah terhadap Allah, maka Allah akan melindungi anggota tubuhnya”.

Huruf Dhâd maknanya Dhâllat, artinya kekayaan yang hilang. Kekayaan yang dimaksud adalah ilmu, sebagaimana yang dimaksud oleh Rasulullah Saw.: “Kekayaan yang hilang dari seorang mukmin adalah ilmu”. Ilmu menempatkan seseorang yang memilikinya pada posisi derajat yang tinggi (Q.S. Al-Mujâdalah: 11) bahkan menempati posisi setelah Allah dan malaikat-Nya (Q.S. Âli Imrân: 18).
Ibnu Ruslan menyatakan dalam bait Syairnya:

Jadilah seseorang yang selalu bertambah ilmu dan faham tiap saat#
Dan berenanglah di segara manfaat
Setiap orang yang beramal tanpa didasari ilmunya#
Amalnya tertolah tak diterima

Huruf Alîf maknanya Idznun atau izin. Menurut lughawi izin artinya al-I’lâm atau pemberitahuan. Sedangkan menurut istilah, idzin adalah terbukanya larangan bagi orang yang terlarang. Izin yang dimaksud di sini adalah izin Allah Swt., seperti izin yang diberikan Allah kepada Ruhul Amin (Jibril As.) untuk menurunkan al-Quran kepada hati Nabi Muhammad Saw. Firman Allah Q.S. Al-Bâqarah: 97. Di dalam Al-Quran banyak kata-kata yang merupakan musytaq (derivasi) dari kata idznun. Di antaranya idznillâh, idzni rabbihi, idznî rabbihâ, idzni rabbihim, atau idznî semuanya menunjukkan pada makna izin Allah Swt.

Huruf nûn maknanya nasyâth atau rajin. Nasyâth adalah lawan makna kaslân atau malas. Nasyâth adalah sifat orang mukmin, sedangkan kaslân adalah sifat munafiq. Firman Allah Q.S. Al-Nisâ: 142. Sifat nasyâth yang dimilki seorang mukmin lahir karena pengaruh dzikir Jahar yang dilakukan secara kontinyu bakda shalat fardhu. Dzikir jahar yang dimaksud adalah mengucapkan Lâ ilâha illallâh menurut tatacara yang diajarkan Rasulullah Saw. Dzikir ini dapat memperbaharui iman. Sabda Rasulullah Saw.: ”Perbaharuilah iman kalian dengan ucapan Lâ ilâha illallâh”. Dalil yang menunjukkan adanya dzikir jahar adalah Q.S. Al-A’râf: 204. Singkatnya, dzikir jahar disyariatkan dalam al-Quran, namun sayang, kebanyakan orang tidak mau tahu. Bahkan ada yang beranggapan bahwa orang yang berdzikir jahar adalah orang yang gila. Firman Allah Q.S. Al-Qalâm: 51.

 
Readmore >>>

Selasa, 17 Juni 2014

Wayang Kulit Tergerus Arus Globalisasi


Praktisi budaya A Prayitno mengatakan kesenian tradisional wayang kulit saat ini semakin terdesak oleh globalisasi karena itu harus dilakukan upaya pelestarian kebudayaan tersebut.

"Saat ini kesenian wayang kulit di Tanah Air sudah semakin terdesak dengan kesenian modern. Sehingga masyarakat dalam hal ini generasi muda harus kembali dibangkitkan untuk kembali belajar tentang kesenian tersebut," katanya di sela-sela kegiatan "Wayang for Student" di Ubud, Bali, Selasa (15/4).
Menurut pemilik Museum Topeng dan Wayang Setia Darma Prayitno itu, jika tidak mulai sekarang diperkenalkan kepada anak-anak, mulai dari tingkat SD hingga SMA, maka kebudayaan khas bangsa ini akan langka dan punah.

"Generasi muda untuk mengetahui wayang kulit saat ini sudah mulai bergeser dengan kebudayaan modern, seperti yang ditayangkan kebanyakan televisi. Dengan demikian secara tidak langsung pemikirannya juga akan bergeser dengan kebudayaan adi luhung tersebut," katanya.
Oleh karena itu, peran pemerintah dan perusahaan swasta harus mampu berperan aktif dalam melestarikan kebudayaan wayang kulit itu.

"Lihat saja generasi muda yang menekuni pedalangan sangat sedikit prosentasenya dibanding jumlah generasi penerus yang ada di Indonesia. Karena itu peran pembinaan dan pelestarian harus terus digalakkan," ucap Prayitno yang memiliki koleksi ratusan topeng dan wayang dari berbagai daerah dan negara di dunia ini.
Ia mengatakan pihaknya salut dengan perusahaan swasta, seperti Bank BCA yang peduli terhadap pelestarian wayang kulit ini dengan melakukan program pengenalan wayang kulit terhadap pelajar.
"Saya berharap perusahaan swasta lainnya agar tergerak untuk melakukan langkah seperti yang dilakukan Bank BCA saat ini, yakni pelestarian wayang kulit itu," katanya.

Komisaris Independen BCA Cyrillus Harinowo mengatakan pihaknya akan terus berupaya melakukan pelestarian kebudayaan wayang tersebut.

"Pelestarian yang dilakukan melalui dana CSR perusahaan itu, kami melakukan program pelestarian wayang kulit. Tahun lalu di tempat ini (Museum Topeng dan Wayang) menggelar lokakarya tentang wayang kulit yang diikuti dari sejumlah daerah di Indonesia dan beberapa peserta dari luar negeri," katanya.
Namun kali ini sebagai keberlanjutan program adalah mengenalkan wayang kulit kepada pelajar di Bali. Sebelumnya kami juga mengenalkan wayang di mal di Jakarta. Sambutan dan antusias masyarakat terhadap wayang luar biasa.

"Artinya masyarakat sebenarnya masih peduli dengan kesenian wayang kulit tersebut. Namun ditengah zaman modern tersebut harus dibarengi dengan sentuhan teknologi kekinian, sehingga kesenian tersebut menarik warga untuk mempelajari," katanya.

Selain itu, kata dia, pihaknya juga memberikan beasiswa terhadap ki dalang anak-anak, dengan tujuan mereka selain belajar formal juga mempelajari wayang kulit di luar jam sekolahnya.
"Beasiswa itu juga sudah kami serahkan kepada sejumlah ki dalang anak-anak yang dianggap layak dan memiliki talenta dalam kesenian wayang kulit tradisional tersebut. Dan kami pun bekerja sama dengan Kompas TV untuk menayangkan kesenian wayang kulit sejak setahun lalu," katanya.
Readmore >>>

Evolusi Wayang


Sejak didirikan 34 tahun lampau, tata ruang Museum Wayang nyaris tidak berubah. Kondisi di bagian dalam gedung yang terletak di jantung Kota Tua Jakarta itu suram dengan cat dinding yang mulai pudar kecemerlangannya. Debu terdapat hampir di mana-mana, melekat pada lemari kaca di mana koleksi-koleksi wayang dipajang. Kesuraman makin ditambah dengan penerangan lampu yang redup.
Pagi itu, sekitar 100 orang berlalu lalang di pelataran museum yang sekaligus menjadi pelataran Museum Fatahilah. Tidak ada alat bantu “navigasi” yang menandai keberadaan Museum Wayang agar mudah dikenali orang—misalnya dengan gambar kayon (gunungan). Masih beruntung, dari sekitar 100 orang pagi itu, ada sekitar 12 orang yang tertarik untuk masuk ke Museum Wayang. Jumlah tamu baru bertambah dua ketika Matahari tepat berada di atas langit Kota Tua.

Mengenai jumlah pengunjung, Kepala Museum Wayang Dachlan menyampaikan, sebanyak 41.264 karcis terjual sepanjang tahun lalu. Itu sudah termasuk rombongan pelajar yang mendapat tugas berkunjung dari sekolah mereka. Jika dipukul rata, gedung itu hanya dikunjungi 113 orang per hari, lebih sedikit dari kapasitas kursi dua bus kota.
Dengan jumlah tersebut, museum ini menempati urutan ketiga untuk jumlah pengunjung museum-museum yang dikelola Pemda DKI Jakarta. Urutan pertama diduduki Monumen Nasional (Monas) diikuti Museum Sejarah, baru kemudian Museum Wayang. “Sudah lumayan, namun masih harus ditingkatkan lagi. Rencananya tahun 2009 ini kami akan merombak tata ruang dan menambah pentas yang didukung multimedia,” kata Dachlan.

Seperti museumnya yang terus bergulat untuk mendongkrak jumlah pengunjung, kesenian wayang yang enam tahun silam didaulat UNESCO sebagai World Master Piece of Oral and Intangible Heritage of Humanity juga menghadapi tantangan dalam mempertahankan popularitas dirinya dari masa ke masa.

Menurut penelusuran Sekretariat Pewayangan Indonesia (Senawangi), seni wayang dimiliki oleh tidak kurang dari 18 provinsi negeri ini. Namun, cuma seni wayang gaya (gagrag) tertentu yang mampu hidup, berkembang, memiliki penikmat dalam jumlah yang banyak, serta memberikan kehidupan yang layak kepada para pelakunya.
Senawangi mencatat, Wayang Bali, Wayang Kulit Jawatimuran, Surakarta, Yogyakarta, serta Wayang Golek Sunda merupakan jenis-jenis wayang yang lestari dan tetap mengalami perkembangan. Sementara itu Wayang Sasak, Wayang Golek Menak, dan Wayang Kulit Cirebon berkembang lamban. Yang rapornya merah adalah Wayang Palembang dan Wayang Banjar. Keduanya dinilai nyaris punah.

Apa yang dibutuhkan agar suatu jenis seni wayang mampu terus hidup di tengah-tengah perubahan zaman?

Sudarko Prawiroyudo, salah satu ketua Senawangi mengatakan, wayang bisa tetap bertahan jika kesenian ini digarap sungguh-sungguh oleh para pelakunya. “Artinya harus mempersiapkan diri dengan baik. Sanggit atau kreativitas dalang dalam mengolah cerita perlu digarap, gendingnya digarap, tata panggung dan tata suaranya juga digarap. Yang tidak kalah penting, penontonnya sendiri juga harus digarap,” katanya.

Hanya saja, sejumlah dalang muda pernah menyampaikan, menggarap penonton itulah sebenarnya tantangan pelestarian wayang yang sesungguhnya. Pasalnya mereka menilai, sebuah pertunjukan wayang selalu diidentikkan dengan kepatuhan terhadap pakem atau standar yang membatasi kreativitas dan hanya membuat tontonan menjadi monoton, membosankan, tidak menarik, sehingga tidak mampu menyedot penonton. Jumlah penontonlah ukuran yang paling mudah untuk mengukur peluang wayang dalam mempertahankan kelestariannya. Terutama pada zaman seperti sekarang ini, di mana arus informasi dan hiburan modern mengalir deras.

***

Sebuah anjungan Taman Mini Indonesia Indah, sekitar 20 kilometer di selatan museum, mulai direngkuh malam tatkala para pengrawit mengawali tabuhan gamelan sebagai tanda pertunjukan wayang kulit segera dimulai. Penonton pun perlahan bergerak mendekati tarub, tempat pertunjukan wayang.

Dilihat dari jumlah bala pendukungnya, ini pentas akbar. Tidak kurang dari 50 pengrawit, 10 penggerong, dan 50 sinden yang cantik jelita berderet empat baris di sisi kiri panggung, menghadap penonton. Ini bukanlah tata krama yang lazim dalam pentas wayang karena seharusnya, para kru pendukung tersebut duduk membelakangi penonton.

Beberapa gending pun dipersembahkan sebelum dalang yang menjadi sosok kunci pentas wayang memasuki panggung. Seperti biasa, tempat dalang dalam pementasan selalu istimewa. Namun, kali ini penghormatan terhadap dalang sungguh luar biasa. Bayangkan, baginya terbentang kelir (layar tempat memainkan wayang) sepanjang 32 meter! Ternyata, kelir sepanjang itu disediakan bagi tiga orang dalang sekaligus.

Pentas dengan tiga dalang yang memainkan satu lakon sekaligus bukanlah hal yang jamak dalam pertunjukan wayang kulit. Telah ratusan tahun lekat dalam benak masyarakat, seorang dalang—hanya seorang—adalah penguasa tunggal pentas seni wayang konvensional atau klasik. Meski banyak yang terlihat janggal, tak kurang dari 5.000 penonton memadati anjungan tersebut dan terus bertambah sampai pada adegan gara-gara.

***

Seorang dalang tenar, Ki Enthus Susmono, menganggap bahwa inovasi dalam pentas wayang memang dibutuhkan agar tetap bertahan di zaman yang kian modern. “Pakem itu bikinan juga ‘kan? Lalu mengapa kita tidak boleh memakai cara sendiri? Menurut saya, dalang itu menggambarkan kehidupan. Kalau misalnya waktu pentas saya ngomong rusuh (jorok), yang ngomong ‘kan bukan saya, melainkan tokoh wayangnya. Dalam kehidupan ‘kan memang ada yang ngomong jorok. Toh itu diterima penonton. Lihat saja kalau saya mendalang, yang nonton bisa puluhan ribu,” katanya.

Saat pentas, Enthus juga kerap menjadikan sinden atau pengrawitnya sebagai bahan guyonan. Mereka bahkan saling meledek. Komunikasi langsung antarpendukung di atas pentas—juga menjadi bagian dari pementasan—seperti itu sama sekali bukan bagian dari baku atau pakem seni wayang konvensional atau klasik di mana para pendukung selalu duduk takzim hingga gilirannya bertugas, menyanyi atau menabuh gamelan, tiba.

Apa yang dilakukan oleh Enthus itu dapat diibaratkan sebuah konser musik klasik yang tiap-tiap musisinya tertib dalam memainkan bagian mereka—juga tidak memainkan—tiba-tiba masing-masing meledak dalam improvisasi ala musik jazz.

Apa yang dilakukan Enthus tak lain adalah kiat menahan penikmat wayang agar tetap duduk di tikar mereka sampai pertunjukan berakhir. Upaya seperti itu juga menjadi salah satu motivasi banyak dalang untuk memodifikasi pementasan mereka. Sebuah upaya yang juga didukung oleh Djoko Suryo, sejarawan sekaligus Guru Besar Universitas Gadjah Mada.

“Tentu pendekatannya harus lebih tajam dan kontekstual dengan masa kini. Dari segi filosofi dan kultural, wayang masih relevan. Pakem itu bisa terus dipakai, tetapi perlu kreativitas penciptaan modus dan pendekatan agar mengarah kepada pendidikan moral,” kata Djoko.

Alhasil sejak akhir 1980-an, pentas dengan tiga, empat, lima, dan bahkan sepuluh orang dalang sudah bukan sesuatu yang mustahil dalam pertunjukan wayang kulit. Tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Hal serupa juga terlihat dalam pentas wayang golek Sunda.

Tidak berhenti hanya sampai di sana, kreativitas para pelaku dalang dalam memodifikasi wayang merambah ke berbagai segi kesenian itu sendiri. Dari sisi perangkat pentas, panggung juga ada yang diset megah dengan kelir lebar. Wayang pun banyak yang cat dasarnya menggunakan warna emas untuk menambah kesan megah, tidak lagi warna asli kulit samakan.

Blencong, lampu minyak tanah yang ditempatkan di atas dalang dan sempat diganti lampu petromaks, sekarang sudah jarang terlihat. Lampu sorot ribuan watt yang membuat mata penonton nyaman adalah gantinya. Belum lagi efek pencahayaan juga sudah makin canggih: menggunakan sinar laser. Sebagian besar dalang muda, seperti Ki Warseno Sleng, Ki Bagong Darmono, Ki Sigid Arianto, dan juga dalang muda di Bali, Ki Wayan Nardayana sudah memanfaatkan teknologi ini.

”Saya memulainya pada akhir 1990-an karena terinspirasi dalang-dalang di Jawa. Yang memperkenalkan ini adalah Dru Wendro, dalang dari Solo yang menjadi dosen di Institut Seni Indonesia Denpasar. Kami sempat pentas bersama. Ternyata dengan efek sinar laser, pentas jadi tampak meriah karena suasana di kelir terkesan gemerlap,” ujar Nardayana.
Kreasi seperti itu dapat dilihat hampir di ujung timur Pulau Jawa, di kota kecil Jember, tempat dalang muda Edy Siswanto memainkan wayang-wayang kulitnya yang berukuran jauh lebih besar dari biasa. Edy menggunakan overhead projector untuk memasukkan ilustrasi gambar hidup di kelir, lengkap dengan rekaman suaranya. Misalnya gambar halilintar saat adegan Gatutkaca terbang di angkasa atau gambar air terjun saat tokoh wayang sedang bertapa. Lewat kiatnya itu, wayang tak lagi beraksi di depan latar kain putih nan polos yang hanya berhiaskan bayang-bayang yang dibiaskan cahaya sentir.

Lain halnya lagi dengan Ki Seno Nugroho. “Saya mengambil langkah yang cukup ekstrem. Saya memadukan dua gagrag sekaligus, Ngayogyakarta dan Surakarta. Dua gaya ini ‘kan tidak pernah ketemu, tetapi saya gabungkan di pentas saya. Ternyata sambutannya luar biasa. Hampir di setiap pentas penontonnya ribuan,” aku Ki Seno Nugroho yang menetap di Bantul, Yogyakarta.

Ke timur Jawa menyeberangi Bali, kreativitas dan usaha keras menghidupkan pentas Wayang Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat dilalui Ki Lalu Nasib—dalang paling eksis di Lombok saat ini. Ketika mengawali kariernya sebagai dalang Wayang Sasak, dia mengaku kesulitan mendapat respon penonton karena bahasanya menggunakan Bahasa Sasak dan Jawa Kawi. Berbeda dengan Wayang Purwa (Jawa dan Bali), yang mengambil sumber cerita pada epos Mahabharata dan Ramayana, Wayang Sasak mengambil sumber Serat Menak (karya sastra kuno Nusantara) dan kakawin (puisi jawa kuno) untuk lakon carangan dengan iringan gamelan Bali.

“Saat mendalang saya menggunakan bahasa campuran dengan Bahasa Indonesia. Kalau tidak begitu, tidak bisa dipahami penonton. Saya juga membuat kreasi pada bentuk wayang, misalnya senapan, helikopter dan banyak lagi bentuk-bentuk lain agar tidak monoton,” ujar Ki Lalu Nasib.

***

Merunut jauh ke belakang lorong waktu, sejatinya, wayang tak lepas dari perubahan, perlahan maupun mengentak. Awalnya, wayang adalah bagian dari kegiatan religi animisme menyembah kepada “Hyang” (Tuhan). “Kegiatan religi itu dilakukan berkaitan dengan upaya masyarakat agraris mensyukuri berkah dari Sang Hyang atas sukses panen, misalnya,” jelas Djoko Suryo.

Menurut Serat Centhini, kitab awal abad ke-19 yang dianggap sebagai ensklopedi budaya Jawa yang pertama di dunia—diprakarsai Pangeran Adipati Anom Amangkunegara, kehadiran wayang bermula pada zaman Sri Aji Jayabaya (hingga tahun 860). Karya penguasa Kerajaan Mamenang itu dianggap sebagai tunas Wayang Purwa. Bentuknya masih berupa gambar yang ditorehkan di atas daun tal (rontal atau lontar) dengan lakon diambil dari tradisi lisan.

Lewat tahun 1120, penerus Lembu Amiluhur di Kerajaan Jenggala, Sri Suryawisesa, melanjutkan tradisi itu dan membuat gambar Wayang Purwa yang lebih besar di lembar lontar. Sri Suryawisesa pun mulai menyusun cerita baru yang kemudian dibakukan. Wayang berbentuk gambar di daun Tal itu pun menjadi tradisi yang penuturannya mulai diiringi dengan gamelan pada tahun 1145.

Seiring perjalanan waktu, gambar wayang pun bervariasi dan dalam penuturan cerita, mulai digunakan bahasa Kawi disertai sulukan (tembang) yang diiringi gamelan. Jadilah wayang sebagai bagian ritual yang digemari kawula kerajaan di Jawa kuno itu. Setiap ada perayaan atau upacara kerajaan, Sang Rajalah yang menjadi dalang. Alhasil, pentas wayang menjadi media bagi Sang Raja menyampaikan titah.
Pada era Suryaamiluhur sang penerus, tradisi wayang menjadi bagian dari ritual pemujaan dewata. Perubahan gambar wayang pun terjadi lagi menjadi bentuk fragmen sesuai alur cerita pada lembaran kertas memanjang dan dapat digulung yang kemudian di abad ke-12 itu dinamai Wayang Beber.

Di abad ke-15 seiring masuknya Islam dan berdirinya Kerajaan Demak (1500-1550), terjadi abstraksi bentuk karena gambar wayang yang ada berbenturan dengan ajaran Islam sehingga Raden Patah yang didukung Sunan Bonang mengubah bentuk wayang. Bahkan masing-masing dari wali yang sembilan menambahkan bentuk baru, termasuk Sunan Kalijaga yang mengubah sarana pertunjukan dari kayu menjadi batang pisang dilengkapi blencong, kotak wayang, dan gunungan.

Pada era Mataram Islam, Sultan Agung Anyakrawati menambahkan unsur gerak pada wayang kulit. Pundak, siku, dan pergelangan wayang mulai diberi sendi posisi tangan. Wayang mulai memiliki wanda (bentuk).

***

Kembali ke abad informasi digital ini, pada kenyataannya masih banyak dalang yang bersikukuh mengusung mazhab klasik meski krisis global turut membuat aktivitas pentas melorot drastis. Ki Anom Suroto yang menjadi salah satu pemegang teguh pakem terus melanjutkan tradisi lama yang sudah dilakukan puluhan tahun di rumahnya, yakni pentas wayang setiap malam Rabu Legi.

“Rutin setiap selapan (35 hari) sekali selalu ada wayangan di rumah. Ini juga salah satu upaya untuk melestarikan wayang. Dalang yang tampil adalah teman-teman. Kami berharap kesempatan itu dimanfaatkan untuk sarasehan memperdalam wawasan kita tentang pakeliran (pertunjukan wayang)” ujar Anom. Dia ingin menepis anggapan yang menyebutkan pakem hanya akan membatasi.

Bagi para dalang klasik, pakem wayang tetap harus dihormati dan itu tak membuat mereka khawatir tidak “laku” karena yakin, dalang klasik tetap memiliki ruang yang luas untuk berkreasi. “Bahkan kita lebih dituntut untuk kreatif, tetapi tetap memperhatikan pakem yang ada,” tutur Anom menandaskan.

Anom tak terlalu risau pada perbedaan pemahaman tentang pertunjukan wayang. “Wayang adalah gambaran kehidupan manusia. Pentas wayang itu bukan hanya untuk hiburan, melainkan juga memuat tuntunan yang adiluhung,” kata Anom. “Itu saja yang saya harap dan sampai saat ini saya pegang teguh.”

Anom bertumpu pada harapan. Keteguhan yang dipegang Anom ataupun kreativitas dalang muda adalah harapan bahwa wayang yang langka, bernasib malang, dan terpinggirkan sebenarnya masih punya potensi berkembang.
Readmore >>>

Senin, 16 Juni 2014

Sunan Kalijaga Dan Wayang Kulit

Kesenian Wayang Kulit merupakan Seni Pertunjukan  yang menjadi Warisan Seni Budaya Indonesia yang paling menonjol diantara Warisan Budaya lainnya yang ada di Indonesia, Kesenian asli Pulau Jawa ini bisa dikatakan telah mewakili hampir semua bidang Seni yang di gelar dalam satu pertunjukan, diantaranya Seni Peran, Seni Musik, Seni Rupa serta Sastra. Wayang kulit adalah Kesenian Indonesia yang sangat tua yang telah berusia lebih dari lima abad.
Menurut para ahli Sejarah, Wayang Kulit telah ada di Indonesia jauh sebelum Agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.
Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para budayawan In­donesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk mem­perkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.
Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata “mawa­yang” dan `aringgit’ yang maksudnya adalah Per­tunjukan Wayang.
Untuk lebih menjawakan Budaya Wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada

Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah cerita­cerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.
Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.
Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.
Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam Budaya Bangsa Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta Ramayana benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa pun menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di pulau Jawa.
Sunan Kalijaga adalah salah seorang kreator ulung yang mampu memadukan kreasi seni budaya dalam membingkai suatu persembahan budaya yang penuh dengan nilai-nilai dan kreasi yang disesuaikan dengan minat dan kondisi masyarakatnya. Berbekal dengan kearifannya, Sunan Kaljaga mencoba untuk masuk dalam konstruksi filosofi masyarakat dalam kontur budaya yang bernilai agung. Diciptakanlah bentuk ukiran wayang kulit dengan ilustrasi wayang yang mampu menggambarkan sosok dalam sebuah ranah kehidupan manusia. Kreasi wayang kulit yang diciptakannya dipentaskan dengan membangunkan kesadaran para penikmatnya bahwa manusia itu adalah mahluk Tuhan dengan segala kreasi dan perbuatannya akan berkonsekwensi terhadap baik dan buruknya. Dan dengan penuh kearifan Sunan Kalijaga Mencoba mengadopsi dan mengkonstruksi budaya dengan memasukkan nilai-nilai luhur yang dibawanya, dan pada akhirnya pelan namun pasti nampaknya kreasi seni budaya yang diciptakannya mampu mewarnai kontruksi budaya maupun perubahan sosial khususnya konstruksi budaya maupun sosial di Jawa.
Sunan Kalijaga yang menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk dianggap berhasil dan sangat diterima masyarakat. Langkah-langkahnya dengan seni budaya mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari banyak kalangan dari rakyat jelata sampai penguasa pada zamannya
Readmore >>>

Kamis, 15 Mei 2014

Wahyu Makutharama


Pagelaran Wayang Kulit "Dalam Rangka Sedekah Bumi Dusun Giwang Desa Rayung Kec Senori Kab Tuban Jatim
Dengan Dalang Ki Tri Bayu Santoso ( Tribasa )
Bersama Sanggar Karawitan Bayusiwi Surakarta
Lakon  " Wahyu Makutharama "
Minggu , 1 Juni 2014

Readmore >>>

Kamis, 10 April 2014

Bermacam Macam Sastra Pedalangan


Sastra Pedalangan
Sastra pedalangan adalah rekabahasa dalang dalam pakeliran atau pergelaran wayang. Rekabahasa dalang tersebut adalah murwa atau pelungan, nyandra janturan dan pocapan, suluk , antawacana, sabetan, suara, dan tembang.
 Terdiri dari  :
  • 1 Murwa
  • 2 Nyandra
  • 3 Pocapan
  • 4 Suluk
  • 5 Antawacana
  • 6 Sabetan
  • 7 Suara
  • 8 Tembang
  • 9 Mantra
  • 10 Cerita

Murwa

Suluk pembuka pakeliran wayang, dalam pedalangan Jawa Timur dikenal dengan istilah pelungan, di Jawa Tengah dikenal dengan istilah ilahengan, dan di Jawa Barat dikenal dengan istilah murwa. Di bawah ini adalah contoh murwa pendek:
Kembang sungsang dinang kunang
Kotak kurawis wayang
Lindu nira bumi bengkah
Adam adam babu hawa
Siskang danur wilis
Ingkang ngagelaraken cahya nur cahya
Anwas anwar ngagelaraken
Malih kang danur citra
Nurcahya nursari nurjati
Dangiang wayang wayanganipun
Semar sana ya danar guling
Basa sem pangangken-angken
Mareng ngemaraken Dat Kang Maha Tunggal
Wayang agung wineja wayang tunggal
Wayang tunggal
Ada juga murwa biasa digunakan oleh Maestro Bapa Dalang Asep Sunandar Sunarya
"Mandra mandra winulan sastra tinuara panjange ngawuwus sinenggih kanda purwantara. Purwa hartosipun wiwitan, tara hartosipun carita. Carita ingkang dianggo bubukaning carita boten wenten malih kajabi ti salebeting karaton Nagara Maespati. Tawis nagara aman, subur makmur, gemah riph, loh jinawi, aman santosa kerta lan raharja. Ingon-ingon pada mulang kana kandangna sewang-sewangan..." dan seterusnya.

Nyandra

Nyandra adalah deskripsi adegan dengan menggunakan bahasa prosa pakeliran wayang. Ada dua jenis nyandra, yaitu janturan dan pocapan. Janturan adalah nyandra yang diiringi gamelan; sedangkan pocapan tidak diiringi gamelan. Di bawah ini adalah contoh nyandra gubahan Ki Harsono Siswocarito dari pedalangan Jawa Barat:
Sinareng nira kenya pertangga, watri gumanti sang hyang latri kapundut ima-ima gambura kalawan ancala. Gambura itu awal, ancala di puncak gunung, si Walangtunggal pertanda cerita bertatahkan asta gangga wira tanu patra. Asta itu tangan, gangga itu air, wira itu mumpuni, tanu itu tinta, patra itu kata.
Kata dan tinta dibuat aksara wilanjana wilanjani. Wilanjana itu abjad aksara Ha, wilanjani itu abjad aksara Alip. Aksara Alip disebar di belahan Barat, menjadi aksara tiga puluh, Alip ba ta sa. Jangan menamatkan aksara Alip, bukan tempatnya meng-urusi aksara Alip. Melenyapkan aksara Alip, mengeluarkan aksara Ha. Aksara Ha disebar di belahan Timur, jatuh di taanah Jawa, dibuat aksara kalih dasa, kalih dua, dasa sepuluh, aksara dua puluh dibagi empat mazhab, yaitu:
Ha na ca ra ka itu timur, da ta sa wa la itu selatan, pa da ja ya nya itu barat, ma ga ba ta nga itu utara. Ha na ca ra ka itu yang memerintah, da ta sa wa la itu yang diperintah, pa da ja ya nya itu buruk hatinya, ma ga ba ta nga itu tidak bisa disebut. Aksara sudah mati di sebelah utara.
Melenyapkan aksara dua puluh, mengeluarkan lagi aksara, wulanjana wulanjani. Wulanjana itu si rama, wulanjani itu sir ibu. Sir rama jatuh ke dalam sir ibu, masuk ke dalam kenya puri. Kenya itu artinya wadah, puri yaitu artinya keraton.
Keraton mana yang menjadi pembuka? Keraton …… yang dipakai pembuka. Dasar negara panjang punjung pasir wukir loh jinawi. Panjang itu banyak dibicarakan, punjung itu luhur wibawanya, pasir itu samudra, wukir yaitu gunung, loh jinawi artinya kaya, tak kurang sandang dan pangan, intan berlian.
Siapa yang menjadi raja? Sang raja duduk di kursi gading gilang kencana bermahkota binokasri bertatahkan permata. Memakai gelung gono, gelung gongsor, kelat bahu kempal dada, menyandang keris kiai Jagapati, pendok berukir ketumbar semebar, amar-amaran-nya sutra kuning, sutra putih, sutra hitam, sutra merah, dodot gresik wayang.
Orang mendalang itu dora sembada, dora itu bohong, sembada itu pantas. Apa sebabnya menjadi pantas? Ada buktinya. Apa buktinya? Adanya wayang purwa. Wayang itu artinya bayangan, purwa itu permulaan. Hanya mengikuti alur terdahulu, merunut jejak lama, orang tua memulai, orang muda hanya melakukan.
Hanya bedanya wayang dahulu kala diganti dengan golek. Apa artinya istilah golek, disenggol matinya tergeletak, mendongkol matanya melek. Tapi kata golek menurut bahasa Jawa artinya cari. Cari apanya, cari asal-usulnya, sebab golek itu tidak berbeda dengan manusia. Hus gegabah golek sampai disamakan dengan manusia. Bukankah golek itu kayu, diukir, dicet menjadi boneka. Kenapa boneka bisa bicara sendiri dan hidup? Golek itu usik tanpa usik, gerak tanpa gerak, karena golek dibicarakannya itu oleh dalang. Tidak merasa menjadi dalang, merasa juga mendalang, mendalangkan. Mendalangkan apa? Mendalangkan katanya. Pembaca mau mencari hiburan, lumayan daripada ngantuk.
Gunung tanpa lereng tiada kera hitamnya. Yang panjang dibuat pendek, yang pendek diputuskan, sebat kang genjotan.

Pocapan

Pocapan adalah nyandra yang tidak diiringi gamelan untuk menceritakan peristiwa dalam adegan. Di bawah ini adalah contoh pocapan dalam lakon Jaya Renyuan garapan dalang Dede Amung Sutarya:
Padmanegara nyandak dua hulusapu bade dicipta ku Kresna. Atuh Kresna rep sidakep ana sinuku tunggal babakane caturdriya--catur papat, driya angen-angen, sir budi cipta kalawan rasa. Pangambung teu diangge ngangse; soca teu diangge ningal; cepil teu diangge ngarungu; baham teu diangge ngucap lir ibarat anu paeh ngadeg, nanging bentena pedah ngangge ambegan.
Nanging tadige manggahing nu Mahakawasa teu weleh nganter ka manusa rek hade rek goreng asal tanggel jawab dirina pribadi. Maksudna diduluran, maksadna diijabah. Ilang dua hulu sapu, janggelek dados ponggawa, anu hiji dados satria.

Suluk

Suluk adalah citra bahasa puisi yang dinyanyikan oleh ki dalang dalam pakeliran wayang. Di bawah ini adalah contoh suluk dari pedalangan Jawa Barat.
Saur nira tan ana panjang
Sinenggih sabda uninga
Wis mamang
Ulun layu dening teki
Wala bakti dening asih
Ya dening asih
Wong asih ora katara

Antawacana

Antawacana adalah dialog antar-tokoh wayang. Sedangkan antawacana antara tokoh wayang dengan nayaga, wirasuara, atau jurukawih dinamakan dialog samping (aside). Antawacana biasanya disampaikan setelah pocapan. Di bawah ini contoh dialog dalam lakon Jaya Renyuan garapan dalang Dede Amung Sutarya:
KRESNA: Eladalah, Yayi, Yayi Setyaki.
SETYAKI: Kaula nun.
KRESNA: Kakang Patih Udawa.
UDAWA: Lo, lo, lo, Hahahah… pun kakang Patih Udawa.
KRESNA: Marajeng ka payun calikna.
SETYAKI: Ti payun anu kapihatur pun rayi nyanggakeun sembah pangabakti mugiya ditampi.
KRESNA: Sembah Rayi ditampi kudua panangan kiwa kalawan tengen, disimpen di luhur dina embun-embunan, di handap dina pangkonan, dicatet dina tungtung emutan anu teu keuna kuowah gingsir.

Sabetan

Sabetan adalah gerak wayang yang meliputi tarian, lakuan, dan lagaan. Tari wayang adalah gerak wayang yang diiringan nyanyian dan gamelan. Lakuan adalah gerak wayang yang hanya diiringan kecrek atau kendang. Sedangkan lagaan adalah gerak wayang dalam peperangan baik dengan iringan gamelan maupun hanya diiringi kecrek dan kendang.
Dasar gerakan wayang dalam tetekon pedalangan Sunda, meliputi: gejlig, gedut, keupat dan gedig. Serta tiap jenis tokoh wayang berbeda dalam memainkannya. Misalnya dalam gerakan tarian, golongan satria dimainkan dengan cara memegang tuding (gagang tangan wayang) dari belakang. Sedangkan untuk golongan ponggawa tuding dipegang dari depan.
Dalam tarian (ibingan) wayang, pamirig atau pengiring lagu juga berbeda untuk setiap tokoh. Misalnya tokoh cakil (dalam pedalangan Sunda) diiringi dengan lagu Bendrong. Ibingan satria diiringi oleh gending Gawil. Untuk punggawa, bisa dengan solontongan. Namun khusus untuk tokoh Gatotkaca harus dengan lagu Macan Ucul.

Suara

Suara dapat berupa teriakan, jeritan, aduhan, tobatan, atau bunyi tiruan yang berupa onomatopia. Suara merupakan pelengkap sabetan lagaan. Di bawah ini adalah suara yang diambil dari lakonet Ki Harsono Siswocarito:
“Grr-babo-babo, keparat! Hadapi aku Dityakala Badai-segara! Heh, konco-konco: Pragalba, Rambut Geni, Padas Gempal, Jurangrawah, Buta Ijo, Buta Terong, Buta Endog—ayo keroyok si perwira keparat itu!”
“C’mon!” + “OK!” + “Move!”
“Satu, dua, tiga! Ciat! Ciat! Ciiaatt!”—(Blaarr!)—“Aduh! Ahk! Khk!Klk!”—(Blug! Blug! Blug!)
“Zuilah! Mampuz zemua!” + “Benal! Ayo lali, Mas!”(Jleg!)—“Brenti!”

Tembang

Tembang adalah nyanyian yang dilantunkan oleh pesinden, wirasuara, atau dalang. Tembang pembuka pakeliran dilantunkan oleh pesinden. Tembang pengiring pakeliran dilantunkan oleh pesinden dan wirasuara. Tembang dalam adegan Limbukan dan Gara-gara dilantunkan oleh dalang yang berkolaborasi dengan pesinden atau bintang tamu. Di bawah ini adalh tembang pembuka dari pedalangan Jawa Barat:
Sampurasun dulur-dulur
Nu aya di pilemburan
Wilujeng patepang dangu
Ti abdi saparakanca
Ti abdi saparakanca
Gamelan Munggul Pawenang
Nyanggakeun hiburanana, Juragan
La mugiya janten panglipur
Pangbeberah duh kana manah
Sedangkan tembang berikut ini adalah yang dinyanyikan oleh dalang Dede Amung Sutarya dalam lakon Jaya Renyuan "Lagu Nu Ngusep".

Mantra

Mantra atau sastra mantra pedalangan ada dua kategori. Pertama, mantra yang berupa doa ki dalang dalam penyelenggaraan pakeliran. Kedua, mantra yang berupa rapalan tokoh wayang dalam mengeluarkan kesaktiannya. Contoh pertama berupa mantra pembuka pakeliran dari Mpu Tan Akung:
Ingsun Angidhepa Sang Hyang Guru Reka,
Kamatantra: swaranku manikastagina.
Contoh kedua berupa rapalan mantra penyirepan oleh tokoh wayang Indrajit:
Rep sirep si Megananda
Wong sarewu padha tumut
Salaksa wong serah nyawa

Cerita

Cerita pedalangan bersumber pada cerita pakem, carangan,gubahan,dan sempalan. Sumber cerita pakem antara lain [[Mahabarata versi India ], Ramayana, Serat Pustaka Rajapurwa lakon wayang gagrak Surakarta , Serat Purwakandha lakon wayang gagrak Yogjakarta untuk wayang purwa. Sedangkan untuk wayang madya dan wayang wasana bersumber pada cerita-cerita babad. Wayang wahyu bersumber pada cerinta-cerita injil. Sumber cerita carangan adalah kreasi baru ki dalang dengan mengacu pada pakem. Cerita gubahan berupa adaptasi atau pembaharuan yang sesuai dengan zaman. Cerita sempalan merupakan kreasi murni yang mengarah kepada gaya baru dalam pedalangnan.Keanekaragaman sumber cerita sastra pedalangan menunjukan kekayaan budaya pewayangan Indonesia.
Sastra pedalangan tentu saja banyak ragamnya. Hal ini menunjukkan kebinekaan sastra pedalangan Indonesia. Ada pedalangan Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Lombok, Banjar, dan sebagainya.
Readmore >>>