Senin, 06 Januari 2014
Tribasa Pentas 25 Januari 2014
Senin, 09 September 2013
Tokoh Punakawan Dalam Pewayangan Jawa
Tokoh - Tokoh Punakawan adalah Sebutan Untuk Tokoh Pewayangan Jawa sebagai pengikut Ksatria ,Punakawan Yang Asal kata " Pana " Artinya Paham dan " Kawan " artinya Teman,Jadi Punakawan bisa diartikan " Kawan Yang Menyaksikan,atau Menjadi Saksi " Ada penafsiran lain dari kata-kata
Punakawan. Puna bisa juga disebut Pana yang berarti terang, sedangkan kawan
berarti teman atau saudara. Jadi penafsiran lain dari arti kata Punakawan
adalah teman atau saudara yang mengajak ke jalan yang terang.
SEMAR
Tokoh Pewayangan Punakawan ini mempunyai nama lengkap " Kyai Semar Badranaya"Semar
berasal dari kata Samara (bergegas). Semar merupakan pusat dari
punakawan
sendiri dan asal usul dari keseluruhan punakawan itu sendiri. Semar
disegani
oleh kawan maupun lawan Semar menjadi rujukan para kesatria untuk
meminta nasihat dan menjadi tokoh yang dihormati. Namun karakter tetap
rendah hati, tidak sombong, jujur, dan tetap mengasihi sesame dapat
menjadi contoh karakter yang baik. Penuh kelebihan tetapi tidak lupa
diri karena kelebihan yang dimiliki.
Semar " dengan jari telunjuk seolah
menuding,melambangkan KARSA / keinginan yang kuat untuk menciptakan sesuatu. mata
yang menyipit juga melambangkan ketelitian dan keseriusan dalam menciptakan.
GARENG
Nala Gareng
berasal dari kata nala khairan (memperoleh kebaikan). Gareng adalah anak
Semar
yang berarti pujaan atau didapatkan dengan memuja. Nalagareng adalah
seorang
yang tak pandai bicara, apa yang dikatakannya kadang- kadang serba
salah. Tetapi
ia sangat lucu dan menggelikan. Nala gareng merupakan tokoh punakawan
yang memiliki ketidaklengkapan bagian tubuh. Nala gareng mengalami cacat
kaki, cacat tangan, dan mata.Karakter yang disimbolkan adalah cacat
kaki menggambarkan manusia harus berhati-hati dalam menjalani kehidupan.
Tangan yang cacat menggambarkan manusia bisa berusaha tetapi Tuhan yang
menentukan hasil akhirnya. Mata yang cacat menunjukkan manusia harus
memahami realitas kehidupan
Anak pertama Semar,dengan tangan
yang cacat,kaki yang pincang,mata yg juling,melambangkan CIPTA.bahwa
menciptakan sesuatu, dan tidak sempurna, kita tidak boleh menyerah.bagaimanapun
kita sudah berusaha.apapun hasilnya,pasrahkan padaNya.
PETRUK
Petruk
berasal dari kata fat ruk (tinggalkanlah). Petruk adalah anak kedua
Semar.
Tokoh petruk digambarkan dengan bentuk panjang yang menyimbolkan
pemikiran harus panjang. Dalam menjalani hidup manusia harus berpikir
panjang (tidak grusa-grusu) dan sabar. Bila tidak berpikir panjang,
biasanya akan mengalami penyesalan di akhir. Petruk merupakan tokoh yang
nakal dan
cerdas, serta bermuka manis dengan senyuman yang menarik hati, panda
berbicara,
dan juga sangat lucu. Ia suka menyindir
ketidakbenaran dengan lawakan-lawakannya.
Anak kedua Semar. Dari kegagalan
menciptakan Gareng, lahirlah Petruk. dengan
tangan dan kaki yg panjang, tubuh tinggi langsing, hidung mancung,wujud
dari CIPTA, yang kemudian diberi RASA, sehingga terlihat lebih indah dengan
begitu banyak kelebihan.
BAGONG
Bagong
berasal dari kata al ba gho ya (perkara buruk).Bagong adalah punakawan
Jawa. Bagong adalah anak bungsu Semar atau
punakawan ke 4. Dalam cerita pewayangan, Bagong adalah tokoh yang
diciptakan
dari bayangan Semar. Bagong bertumbuh tambun gemuk seperti halnya Semar.
Namun
seperti anak-anak semar yang lain, Bagong juga suka bercanda bahkan saat
menghadapi persoalan yang teramat serius. serta memiliki sifat lancang
dan suka
berlagak bodoh. Ia juga sangat lucu. Karakter yang disimbolkan dari
bentuk bagong adalah manusia harus sederhana, sabar, dan tidak terlalu
kagum pada kehidupan di dunia
Anak ketiga Semar. Wujud dari
KARYA. dialah yg dianggap sebagai manusia yang sesungguhnya. walau petruk
lengkap dengan keindahan dan kesempurnaan, tapi
bagong lah yang dianggap sebagai manusia utuh. karena dia memiliki
kekurangan. Jadi manusia yang sejati
adalah manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangan. jadi jangan takut atau
malu karena kekurangan kita. karena kekurangan itulah yang menjadikan kita
manusia seutuhnya.yang perlu kita pikirkan sekarang adalah, bagaimana
meminimalkan kekurangan kita, dan memaksimalkan kelebihan kita. karena
bagaimanapun kekurangan dan kelebihan itu tidak bisa kita buang atau kita
hilangkan.
Minggu, 08 September 2013
Politik Dan Wayang Kulit
Seandainya Politikus Belajar dari Wayang Kulit
“Siapa yang tidak mengenal wayang kulit, wayang kulit merupakan
salah Mahakarya seni pertunjukan di Indonesia khususnya Jawa. Wayang
kulit yang sudah menjadi satu dalam sosiokultur dan keyakinan (religi)
bangsa Indonesia, membuat wayang kulit sangat digemari karena isi wayang
kulit yang penuh akan nilai-nilai pendidikan moral dalam bermasyrakat,
berbangsa dan bernegara”.
Sejarah Wayang Kulit
WAYANG salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling
menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi
seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis,
seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus
berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah,
pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.
Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia
Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia
Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan
filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan.
Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari
salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang
bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam_
pewayangan sengaja diciptakan para budayawan Indonesia (tepatnya
budayawan Jawa) untuk memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini
tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat.
Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.
Mengenai asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat. Pertama,
pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa,
tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh
para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil
penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang
termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.
Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat
erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia,
khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan,
yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan
Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis
pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa
lain.
Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang
dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain
adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian
besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang
pernah menjajah India.
Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain.
Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain.
Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada
zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni
ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya. Karya sastra
yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga
Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana
Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah
Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan
pujangga India, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi
hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi
menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa
kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang
merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang
lebih nyata bedanya dengan cerita asli versi India, adalah Baratayuda
Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan
pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 – 1160).
Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada
sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat
pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata “mawayang” dan
`aringgit’ yang maksudnya adalah pertunjukan wayang.
Kata `wayang’ diduga berasal dari kata `wewayangan’, yang artinya
bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang
Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara
dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton
hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh
pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh
seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis
seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu
diduga belum ada.
Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan
Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada
Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah ceritacerita Panji;
yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan
sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian
lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi
menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di
antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja
Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.
Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada
Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah
masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk
tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut
hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai
dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan
cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada
lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari
cerita pakem.
Lakon Utama
Secara umam lalon yang dimainkan dalam wayang kulit
adalah Mahabarata dan Ramayana. Tetapi tidak dibatasi dengan pakem
standar tersebut, dalang juga memainkan lakon carangan (gubahan).
Beberapa diantaranya Cerita Panji.
Lakon Mahabarata mengisahkan permusuhan antara Pandawa dan Kurawa
dalam perebutan Kerajaan astina. Pandawa dan Kurawa sama-sama mengklaim
bahwa merekalah yang berhak atas tahta kerejaan astina. Walaupun
sebenarnya yang paling berhak atas kerajaan adalah Pandawa. Mereka
saling permusuhan dan selalu dimenangkan Pandawa. Untuk mengakhiri
permusuhan tersebut kerajaan dipecah menjadi dua.
Lakon Ramayana mengisahkan Sri Rama dan Dewi Sinta
perjuangan keduanya dalam menjalani asmara yang sejati. Karena kisah
asmara mereka mendapatkan berbagai ujian. Diculiknya Dewi Sinta oleh
Rahwana untuk dibawa ke kerajaan Ngalengka untuk dijadikan istri.
Tetapi, meskipun rayuan dari Rahwana tidak dapat menggoyahkan pendirian
dari Dewi Sinta yang tetap tresna (Cinta) kepada Sri Rama. Sri Rama yang
marah karena istrinya diculik, dengan bantuan Anoman (kera putih) dan
pasukan kera berhasil mengalahkan Rahwana dan menyelamatkan Dewi Sinta.
Inti dari dua lakon utama wayang kulit Mahabarata dan Ramayana adalah
tentang kebaikan yang mengalahkan angkara mungkar. Lakon utama hanyalah
standarisasi tokoh-tokoh dalam pementasan wayang kulit. Di bawah Lakon
utama ada lakon gubahan, seperti penjelasan atas tadi.
Filosofi Wayang Kulit
Wayang Kulit memiliki banyak filosofi yang dapat dipelajari oleh
kita. Filosofi wayang kulit ada bukan hanya saat pertunjukan saja,
tetapi sebelum pertunjukan dimulaipun ada filosofi yang dapat diambil.
Lihatlah wayang yang berjajar di depan sebelum pementasan dimulai.
Wayang selalu dijajarkan sesuai peran wayang tersebut. Peran wayang yang
berwatak jahat (Butho), selalu diletakkan di pinggir jauh dari dalang.
Sementara wayang yang berwatak baik dan bijaksana akan diletakkan berada
di dekat dalang. Bila kita iteroretasikan pada kehidupan kita bahwa
orang-orang yang baik dan bijaksana selalu akan dekat kepada Tuhan,
sementara orang yang berwatak jahat akan menjauh dari Tuhan. Sehingga
mengajarkan kita untuk selalu baik dan bjaksana.
Cerita pewayangan menggambarkan pandangan tentang konsep mahkluk
Tuhan. Para tokoh wayang diibaratkan manusia dalam dunia nyata. Manusia
bukan sesuatu yang bebas dari salah.
tokoh wayang menggambarkan perilaku manusia yang kadang-kadang keliru
dan bisa saja khilaf. Tokoh punakawan diciptakan oleh budayawan jawa
untuk memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk
yang benar-benar baik dan benar-benar salah. Setiap makhluk selalu
menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.
Tokoh punakawan yang muncul dalam pertunjukan wayang kulit,
melambangkan rakyat atau kawula alit. Hal tersebut berdasarkan anggapan
atau suatu faham yang kuat dan mendalam diantara masyarakat jawa,
meskipun jarang terungkap; bahwa hanya rakyatlah yang merupakan sumber
kekuatan yang sebenarnya, kesuburan, dan kebijaksanaan masyarakat Jawa,
bukan lingkungan kraton. Sebagaimana para punakawan rela menjadi abdi
yang rendah para bendara (Tuan) mereka yang luhur; begitu pula rakyat
Jawa pun menerima kedudukan sederhana itu. Tetapi jika para Pandawa
melupakan para panakawan, pasti akan terkena marabahaya atau malapetaka.
Rakyat juga berharap para pemimpin tidak melupakan rakyat, karena
berkat rakyatlah para pemimpin dapa menikmati kedudukannya. Kekuatan
raja atau pemimpin tidak berarti apa-apa jika terpisah dari rakyat,
karena hanya rakyatlah sumber kekuatan di dalam masyarakat.
Pandam Guritno (1976)[1]
menyatakan bahwa panakawan dalam pewayangan merupakan pengejawatan
sifat, watak, manusia dengan lambangnya masing-masing, yaitu:
Semar lambang karsa (kehendak atau niat),
Gareng lambang Cipta (pikiran, rasio, nalar),
Petruk lambang rasa (perasaan),
Bagong lambang karya (usaha, perilaku, perbuatan).
Dengan kata lain bahwa panakawan yang berjumlah empat itu
melambangkan cipta-rasa-karsa dan karya manusia. Jadi panakawan ( pana
‘tahu’ terhadap empat tersebut, dan kawan ‘teman’ manusia hidup di
dunia).
Falsafah Wayang Kulit
Kita ketahui bahwa yang disampaikan dalam wayang
kulit ingin mengajak manusia dalam menjalani kehidupan di muka bumi
sebagai makhluk sosial. Wayang kulit menyampaikan bahwa kebaikan selalu
dapat mengalahkan keburukan. penyampaian etika, norma, kebenaran, moral,
maupun kejujuran dalam wayang kulit kepada manusia, agar manusia
mendapat ketenangan dan kenyamanan hidup.
Misalnya dalam epos Mahabarata, terdapat kelompok Pandhawa yang
mewakili nilai-nilai kebaikan serta Kurawa yang disimbolkan sebagai
pemuja hawa nafsu dan angkara murka. Pemberian simbol-simbol (penanda)
tersebut bertujuan sebagai kontrol masyarakat. Masyarakat akan melakukan
hal-hal yang baik agar tidak dikategorikan sebagai kurawa yang berwatak
tamak.
Pemasukan yang dilakukan wayang dalam pemberian nasehat dalam
mejalani kehidupan seperti : Nrimo ing pandum (menerima apa adanya),
memeyu hayuning bawana (menjadikan dunia sejahtera), jer basuki mawa bea
( kebahagiaan butuh pengorbanan), dan kautamaning urip (menjadi manusia
yang utama).
Politik Wayang Indonesia
Wayang kulit telah memberikan gambaran dan pelajaran dalam menjalani
hidup dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam hal bernegara
(politik) wayang kulit memberikan pelajaran dalam cerita Mahabarata
bahwa ketamakan dalam mengejar kekuasaan yang dilakukan oleh Kurawa akan
hancur atau dikalahkan kebenaran yang diwakili oleh Pandawa.
Para politikus di Indonesia nampaknya telah banyak belajar dari salah
satu tokoh dalam pewayang Mahabarata yaitu Sengkuni. Sengkuni merupakan
Patih dari kerajaan Astina, sebuah negara yang dipimpin oleh Kurawa.
Badannya kurus, mukanya pucat kebiru-biruan seperti pecandu. cara
bicaranya “klemak-klemek” terkesan menjengkelkan.
Para politikus di negara kita cenderung berbuat licik, munafik,
senang menfitnah, senang menghasut, senang mencela orang lain dan iri
hati seperti watak sengkuni. Sengkuni juga dikenal dikenal juga sebagai
pengemong atau penasihat, terutama hal-hal pemerintahan bagi para Kurawa
dalam memerintah Astinapura. Bila kita umpamakan Sengkuni sebagai
politikus dan para Kurawa sebagai pemerintah. Pola pikir politikus yang
seperti Sengkuni yang mempengaruhi (ngemong) pemerintah (para kurawa)
dalam mememerintah negara Indonesia. Sifat yang hanya mementingkan diri
sendiri atau kelompok untuk memerintah negara, dapat disimpulkan akan
dapat menghancurkan negara.
Di sisi gelap jiwa Sengkuni menyimpan suatu dorongan sadis “biarlah
orang lain menderita”. Di mana pun juga, kita akan menemukan orang-orang
yang mempunyai kecenderungan kasar yang ingin mempertahankan dirinya,
tetapi orang lain harus dikorbankan. Tidak seorangpun ingin disamakan
dengan sengkuni yang berwatak seperti itu.
Rendahnya politikus dalam memahami etika, norma, kebenaran, moral dan
kejujuran seperti yang ada dalam wayang nampaknya telah melahirkan
sengkuni-sengkuni baru di era modern.
Maka jangan kaget jika muncul pemimpin-pemimpin seperti sengkuni,
bahkan ada sengkuni-sengkuni disekeliling kita yang menduduki jawabatan
kepemimpinan dan hanya mementingkan kelompok, tidak mempunyai jiwa
pemimpin. Lalu kita menerima sebagai hal yang lumrah atau normal, dan
tidak ada keterkejutan.
Pergeseran dalam masyarakat dalam hal kesakralan, sekarang harta
benda lebih penting dari segala di dunia. Semua urusan dihitung uang,
membuat orang berlomba-lomba mendapatkan sebanyak-banyaknya tanpa
memperdulikan orang-orang disekitarnya. Saat semua hanya mementingkan
diri mereka dan kelompok inilah yang memunculkan sengkuni-sengkuni.
Sengkuni dianggap menjadi panutan dan Pandawa menjadi musuh, karena
Pandawa yang memiliki sifat adil, bijak dan kejujuran. Sikap yang
seperti itu akan dianggap oleh sengkuni-sengkuni baru sebagai hambatan
untuk mencapai keinginan mereka, sehingga harus disingkirkan. Semuanya
menjadi serba terbalik. Mungkinkah suatu saat muncul Pandawa-padawa yang
akan mengalahkan Sengkuni dan Kurawa yang sedang berkuasa sekarang ini.
Daftar Pustaka
- Sutardjo. Sejarah Wayang Purwa. Panji Pustaka: Yogjakarta.
- Imam Sutardjo. Serpihan Mutiara Pertunjukan Wayang. Penerbit Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS: Surakarta. 2006
Fisolofi dan Simbol Yang Tersembunyi Di Balik Wayang Kulit
Mengenal kebudayaan Jawa tidak akan terlepas dari mengenal seni
tradisional wayang kulit yang masih digemari hingga sekarang. Sesuai
dengan namanya, wayang kulit terbuat dari kulit binatang (kerbau, lembu
atau kambing). Secara sejarah, wayang kulit terutama berkembang di Jawa
dan di sebelah timur semenanjung Malaysia seperti di Kelantan dan
Terengganu. Wayang kulit lebih populer di Jawa bagian tengah dan timur,
sedangkan wayang golek lebih sering dimainkan di Jawa Barat.
Wayang kulit adalah seni pertunjukan yang telah berusia lebih dari setengah milenium. Kemunculannya memiliki cerita tersendiri, terkait dengan masuknya Islam Jawa. Salah satu anggota Wali Songo menciptakannya dengan mengadopsi Wayang Beber yang berkembang pada masa kejayaan Hindu-Budha. Adopsi itu dilakukan karena wayang terlanjur lekat dengan orang Jawa sehingga menjadi media yang tepat untuk dakwah menyebarkan Islam, sementara agama Islam melarang bentuk seni rupa. Alhasil, diciptakan wayang kulit dimana orang hanya bisa melihat bayangan.
-Bagaimana cara pertunjukan wayang kulit berlangsung?
Tempat pertunjukan wayang ditata dengan menggunakan konsep pentas yang bersifat abstrak. Arena pentas terdiri dari layar berupa kain putih dan sebagai sarana tehnis di bawahnya ditaruh batang pisang untuk menancapkan wayang.
Ada seorang dalang yang memainkannya dan sekaligus menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, yang bisa dibilang sebagai penghibur terhebat di dunia. Bagaimana tidak, selama semalam suntuk, sang dalang memainkan seluruh karakter aktor wayang kulit yang merupakan orang-orangan berbahan kulit kerbau dengan dihias motif hasil kerajinan tatah sungging (ukir kulit). Ia harus mengubah karakter suara, berganti intonasi, mengeluarkan guyonan dan bahkan menyanyi. Untuk menghidupkan suasana, dalang dibantu oleh musisi yang memainkan gamelan dan para sinden yang menyanyikan lagu-lagu Jawa. Tokoh-tokoh dalam wayang keseluruhannya berjumlah ratusan. Orang-orangan yang sedang tak dimainkan diletakkan dalam batang pisang yang ada di dekat sang dalang. Saat dimainkan, orang-orangan akan tampak sebagai bayangan di layar putih yang ada di depan sang dalang. Bayangan itu bisa tercipta karena setiap pertunjukan wayang memakai lampu minyak sebagai pencahayaan yang membantu pemantulan orang-orangan yang sedang dimainkan.
Sebuah pagelaran wayang semalam suntuk gaya Yogyakarta dibagi dalam 3 babak yang memiliki 7 jejeran (adegan) dan 7 adegan perang. Babak pertama, disebut pathet lasem, memiliki 3 jejeran dan 2 adegan perang yang diiringi gending-gending pathet lasem. Pathet Sanga yang menjadi babak kedua memiliki 2 jejeran dan 2 adegan perang, sementara Pathet Manura yang menjadi babak ketiga mempunyai 2 jejeran dan 3 adegan perang. Salah satu bagian yang paling dinanti banyak orang pada setiap pagelaran wayang adalah gara-gara yang menyajikan guyonan-guyonan khas Jawa.
Rata-rata pertunjukan dalam satu malam adalah 7 sampai 8 jam, mulai dari jam 21.00 sampai jam 05.00 pagi. Bila dilakukan pada siang hari pertunjukan biasanya dimulai dari jam 09.00 sampai dengan jam 16.00.
Narasi sang dalang akan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Wayang kulit dimainkan olah Ki Dalang di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir.
Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar. Wayang biasanya mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tak dibatasi hanya dengan pakem (standard) tersebut. Ki dalang juga dapat memainkan lakon carangan (gubahan). Beberapa cerita juga diambil dari cerita Panji.
-Kisah Atau Lakon Yang Berbeda
Setiap pagelaran wayang menghadirkan kisah atau lakon yang berbeda. Ragam lakon terbagi menjadi 4 kategori yaitu lakon pakem, lakon carangan, lakon gubahan dan lakon karangan. Lakon pakem memiliki cerita yang seluruhnya bersumber pada perpustakaan wayang sedangkan pada lakon carangan hanya garis besarnya saja yang bersumber pada perpustakaan wayang. Lakon gubahan tidak bersumber pada cerita pewayangan tetapi memakai tempat-tempat yang sesuai pada perpustakaan wayang, sedangkan lakon karangan sepenuhnya bersifat lepas.
Wayang kulit dipakai untuk memperagakan lakon-lakon dari Babad Purwa yaitu Mahabarata dan Ramayana, dan itu sebabnya juga sering disebut Wayang Purwa.
Dalam pertunjukan wayang kulit, jumlah adegan dalam satu lakon tidak dapat ditentukan. Jumlah adegan ini akan berbeda-beda berdasarkan lakon yang dipertunjukkan atau tergantung dalangnya.
Sebagai pra-tontonan adalah tetabuhan yang tidak ada hubungannya dengan ceritera pokok, jadi hanya bersifat sebagai penghangat suasana saja atau pengantar untuk masuk ke pertunjukan yang sebenarnya.
-Pakem Pedalangan Sebagai Pedoman
Sebagai pedoman dalam menyajikan pertunjukan wayang kulit biasanya seorang dalang akan menggunakan pakem pedalangan berupa buku pedalangan. Namun ada juga dalang yang menggunakan catatan dari dalang-dalang tua yang pengetahuannya diperoleh lewat keturunan. Meskipun demikian, seorang dalang diberi kesempatan pula untuk berimprovisasi, karena pakem pedalangan tersebut sebenarnya hanya berisi inti ceritera pokok saja. Untuk lebih menghidupkan suasana dan membuat pertunjukan menjadi lebih menarik, improvisasi serta kreativitas dalang ini memegang peranan yang amat penting.
-Warna Rias Wajah Memiliki Arti Simbolis
Warna rias wajah pada wayang kulit mempunyai arti simbolis, akan tetapi tidak ada ketentuan umum di sini. Warna rias merah untuk wajah misalnya, sebagian besar menunjukkan sifat angkara murka, akan tetapi tokoh Setyaki yang memiliki warna rias muka merah bukanlah tokoh angkara murka.
Jadi karakter wayang tidaklah ditentukan oleh warna rias muka saja, tetapi juga ditentukan oleh unsur lain, seperti misalnya bentuk (patron) wayang itu sendiri. Tokoh Arjuna, baik yang mempunyai warna muka hitam maupun kuning, adalah tetap Arjuna dengan sifat-sifatnya yang telah kita kenal. Perbedaan warna muka seperti ini hanya untuk membedakan ruang dan waktu pemunculannya.
Arjuna dengan warna muka kuning dipentaskan untuk adegan di dalam kraton, sedangkan Arjuna dengan warna muka hitam menunjukkan bahwa dia sedang dalam perjalanan. Demikian pula halnya dengan tokoh Gatotkaca, Kresna, Werkudara dan lain-lain. Perbedaan warna muka wayang ini tidak akan diketahui oleh penonton yang melihat pertunjukan dari belakang layar.
-Alat Penerangan Terus Berkembang
Alat
penerangan yang dipakai dalam pertunjukan wayang kulit dari dahulu
sampai sekarang telah banyak mengalami perubahan sesuai dengan
perkembangan teknologi. Dalam bentuk aslinya alat penerangan yang
dipakai pada pertunjukan wayang kulit adalah blencong, kemudian
berkembang menjadi lampu minyak tanah (keceran), petromak, sekarang
banyak yang menggunakan lampu listrik.
Sampai sekarang pertunjukan
wayang kulit selain merupakan sarana hiburan juga merupakan salah satu
bagian dari upacara-upacara adat seperti: bersih desa, ngruwat dan
lain-lain.-Mendapat Pengakuan Internasional
Wayang kulit telah mendapat pengakuan secara internasional. UNESCO telah mengakui pertunjukan wayang kulit pada tanggal 7 November 2003 sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).
Semoga saja wayang kulit yang sangat indah ini tidak lapuk dimakan jaman. Semoga wayang kulit tetap menjadi pedoman dan filosofi kehidupan. Semoga wayang kulit tidak hanya menjadi tontonan, tapi juga tuntunan.
Islam Dalam Falsafah Wayang
Islam Dalam Falsafah Wayang
Makna simbolik wayang dan layar tempat wayang dipertunjukkan, berkaitan pula dengan bayang-bayang dan cermin. Dengan menggunakan tamsil wayang dalam suluknya Sunan Bonang seakan-akan ingin mengatakan kepada pembacanya bahwa apa yang dilakukan melalui karyanya merupakan kelanjutan dari tradisi sastra sebelumnya, meskipun terdapat pembaharuan di dalamnya.
Ketika ditanya oleh Sunan Kalijaga mengenai falsafah yang dikandung pertunjukan wayang dan hubungannya dengan ajaran tasawuf, Sunang Bonang menunjukkan kisah Baratayudha (Perang Barata), perang besar antara Kurawa dan Pandawa. Di dalam pertunjukkan wayang kulit Kurawa diletakkan di sebelah kiri, mewakili golongan kiri. Sedangkan Pandawa di sebelah kanan layar mewakili golongan kanan. Kurawa mewakili nafi dan Pandawa mewakili isbat. Perang Nafi Isbat juga berlangsung dalam jiwa manusia dan disebut jihad besar. Jihad besar dilakukan untuk mencapai pencerahan dan pembebasan dari kungkungan dunia material.
Sunan Bonang berkata kepada Wujil: “Ketahuilah Wujil, bahwa pemahaman yang sempurna dapat dikiaskan dengan makna hakiki pertunjukan Wayang. Manusia sempurna menggunakan ini untuk memahami dan mengenal "Yang". Dalang dan wayang ditempatkan sebagai lambang dari tajalli (pengejawantahan ilmu) Yang Maha Agung di alam kepelbagaian. Inilah maknanya: Layar atau kelir merupakan alam inderawi. Wayang di sebelah kanan dan kiri merupakan makhluq ilahi. Batang pokok pisang tempat wayang diletakkan ialah tanah tempat berpijak. Blencong atau lampu minyak adalah nyala hidup. Gamelan memberi irama dan keselarasan bagi segala kejadian. Ciptaan Tuhan tumbuh tak tehitung. Bagi mereka yang tidak mendapat tuntunan ilahi ciptaan yang banyak itu akan merupakan tabir yang menghalangi penglihatannya. Mereka akan berhenti pada wujud zahir. Pandangannya kabur dan kacau. Dia hilang di dalam ketiadaan, karena tidak melihat hakekat di sebalik ciptaan itu.”
Selanjutnya kata Sunan Bonang “Suratan segala ciptaan ini ialah menumbuhkan rasa cinta dan kasih. Ini merupakan suratan hati, perwujudan kuasa-kehendak yang mirip dengan-Nya, walaupun kita pergi ke Timur-Barat, Utara-Selatan atau atas ke bawah. Demikianlah kehidupan di dunia ini merupakan kesatuan Jagad besar dan Jagad kecil. Seperti wayang sajalah wujud kita ini. Segala tindakan, tingkah laku dan gerak gerik kita sebenarnya secara diam-diam digerakkan oleh Sang Dalang.”
Mendengar itu Wujil kini paham. Dia menyadari bahwa di dalam dasar-dasarnya yang hakiki terdapat persamaan antara mistisisme Hindu dan tasawuf Islam. Di dalam Kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, penyair Jawa Kuno abad ke-12 dari Kediri, falsafah wayang juga dikemukakan. Mpu Kanwa menuturkan bahwa ketika dunia mengalami kekacauan akibat perbuatan raksasa Niwatakawaca, dewa-dewa bersidang dan memilih Arjuna sebagai kesatria yang pantas dijadikan pahlawan menentang Niwatakawaca. Batara Guru turun ke dunia menjelma seorang pendeta tua dan menemui Arjuna yang baru saja selesai menjalankan tapabrata di Gunung Indrakila sehingga mencapai kelepasan (moksa)
Di dalam wejangannya Batara guru berkata kepada Arjuna: “Sesunguhnya jikalau direnungkan baik-baik, hidup di dunia ini seperti permainan belaka. Ia serupa sandiwara. Orang mencari kesenangan, kebahagiaan, namun hanya kesengsaraan yang didapat. Memang sangat sukar memanfaatkan lima indra kita. Manusia senantiasa tergoda oleh kegiatan indranya dan akibatnya susah. Manusia tidak akan mengenal diri peribadinya jika buta oleh kekuasaan, hawa nafsu dan kesenangan sensual dan duniawi. Seperti orang melihat pertunjukan wayang ia ditimpa perasaan sedih dan menangis tersedu-sedu. Itulah sikap orang yang tidak dewasa jiwanya. Dia tahu benar bahwa wayang hanya merupakan sehelai kulit yang diukir, yang digerak-gerakkan oleh dalang dan dibuat seperti berbicara. Inilah kias seseorang yang terikat pada kesenangan indrawi. Betapa besar kebodohannya.” (Abdullah Ciptoprawiro 1984)
Selanjutnya Batara Guru berkata, “Demikianlah Arjuna! Sebenarnya dunia ini adalah maya. Semua ini sebenarnya dunia peri dan mambang, dunia bayang-bayang! Kau harus mampu melihat Yang Satu di balik alam maya yang dipenuhi bayang-bayang ini.” Arjuna mengerti. Kemudian dia bersujud di hadapan Yang Satu, menyerahkan diri, diam dalam hening. Baru setelah mengheningkan cipta atau tafakur dia merasakan kehadiran Yang Tunggal dalam batinnya. Kata Arjuna:
Sang Batara memancar ke dalam segala sesuatu
Menjadi hakekat seluruh Ada,
sukar dijangkau
Bersemayam di dalam Ada dan Tiada,
Di dalam yang besar dan yang kecil,
Yang baik dan yang jahat
Penyebab alam semesta, pencipta dan pemusnah
Sang Sangkan Paran (Asal-usul) jagad raya
Bersifat Ada dan Tiada,
Zakhir dan batin
Demikianlah, dengan menggunakan tamsil wayang, Sunan Bonang berhasil meyakinkan Wujil bahwa peralihan dari zaman Hindu ke zaman Islam bukanlah suatu lompatan mendadak bagi kehidupan orang Jawa. Setidak-tidaknya secara spiritual terdapat kesinambungan yang menjamin tidak terjadi kegoncangan. Memang secara lahir kedua agama tersebut menunjukkan perbedaan besar, tetapi seorang arif harus tembus pandang dan mampu melihat hakikat sehingga penglihatan kalbunya tercerahkan dan jiwanya terbebaskan dari kungkungan dunia benda dan bentuk-bentuk. Itulah salah satu inti ajaran Sunan Bonang dalam Suluk Wujil.
Readmore >>>
Tamsil paling menonjol yang dekat dengan budaya lokal ialah Wayang dan
lakon perang Bala Kurawa dan Pandawa yang sering dipertunjukkan dalam
pagelaran wayang. Penyair-penyair sufi Arab dan Persia seperti
Fariduddin `Attar dan Ibn Fariedh menggunakan tamsil wayang untuk
menggambarkan persatuan mistis yang dicapai seorang ahli makrifat dengan
Tuhannya.
Pada abad ke-11 dan 12 M di Persia pertunjukan wayang Cina
memang sangat populer (Abdul Hadi W.M. 1999:153).
Makna simbolik wayang dan layar tempat wayang dipertunjukkan, berkaitan pula dengan bayang-bayang dan cermin. Dengan menggunakan tamsil wayang dalam suluknya Sunan Bonang seakan-akan ingin mengatakan kepada pembacanya bahwa apa yang dilakukan melalui karyanya merupakan kelanjutan dari tradisi sastra sebelumnya, meskipun terdapat pembaharuan di dalamnya.
Ketika ditanya oleh Sunan Kalijaga mengenai falsafah yang dikandung pertunjukan wayang dan hubungannya dengan ajaran tasawuf, Sunang Bonang menunjukkan kisah Baratayudha (Perang Barata), perang besar antara Kurawa dan Pandawa. Di dalam pertunjukkan wayang kulit Kurawa diletakkan di sebelah kiri, mewakili golongan kiri. Sedangkan Pandawa di sebelah kanan layar mewakili golongan kanan. Kurawa mewakili nafi dan Pandawa mewakili isbat. Perang Nafi Isbat juga berlangsung dalam jiwa manusia dan disebut jihad besar. Jihad besar dilakukan untuk mencapai pencerahan dan pembebasan dari kungkungan dunia material.
Sunan Bonang berkata kepada Wujil: “Ketahuilah Wujil, bahwa pemahaman yang sempurna dapat dikiaskan dengan makna hakiki pertunjukan Wayang. Manusia sempurna menggunakan ini untuk memahami dan mengenal "Yang". Dalang dan wayang ditempatkan sebagai lambang dari tajalli (pengejawantahan ilmu) Yang Maha Agung di alam kepelbagaian. Inilah maknanya: Layar atau kelir merupakan alam inderawi. Wayang di sebelah kanan dan kiri merupakan makhluq ilahi. Batang pokok pisang tempat wayang diletakkan ialah tanah tempat berpijak. Blencong atau lampu minyak adalah nyala hidup. Gamelan memberi irama dan keselarasan bagi segala kejadian. Ciptaan Tuhan tumbuh tak tehitung. Bagi mereka yang tidak mendapat tuntunan ilahi ciptaan yang banyak itu akan merupakan tabir yang menghalangi penglihatannya. Mereka akan berhenti pada wujud zahir. Pandangannya kabur dan kacau. Dia hilang di dalam ketiadaan, karena tidak melihat hakekat di sebalik ciptaan itu.”
Selanjutnya kata Sunan Bonang “Suratan segala ciptaan ini ialah menumbuhkan rasa cinta dan kasih. Ini merupakan suratan hati, perwujudan kuasa-kehendak yang mirip dengan-Nya, walaupun kita pergi ke Timur-Barat, Utara-Selatan atau atas ke bawah. Demikianlah kehidupan di dunia ini merupakan kesatuan Jagad besar dan Jagad kecil. Seperti wayang sajalah wujud kita ini. Segala tindakan, tingkah laku dan gerak gerik kita sebenarnya secara diam-diam digerakkan oleh Sang Dalang.”
Mendengar itu Wujil kini paham. Dia menyadari bahwa di dalam dasar-dasarnya yang hakiki terdapat persamaan antara mistisisme Hindu dan tasawuf Islam. Di dalam Kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, penyair Jawa Kuno abad ke-12 dari Kediri, falsafah wayang juga dikemukakan. Mpu Kanwa menuturkan bahwa ketika dunia mengalami kekacauan akibat perbuatan raksasa Niwatakawaca, dewa-dewa bersidang dan memilih Arjuna sebagai kesatria yang pantas dijadikan pahlawan menentang Niwatakawaca. Batara Guru turun ke dunia menjelma seorang pendeta tua dan menemui Arjuna yang baru saja selesai menjalankan tapabrata di Gunung Indrakila sehingga mencapai kelepasan (moksa)
Di dalam wejangannya Batara guru berkata kepada Arjuna: “Sesunguhnya jikalau direnungkan baik-baik, hidup di dunia ini seperti permainan belaka. Ia serupa sandiwara. Orang mencari kesenangan, kebahagiaan, namun hanya kesengsaraan yang didapat. Memang sangat sukar memanfaatkan lima indra kita. Manusia senantiasa tergoda oleh kegiatan indranya dan akibatnya susah. Manusia tidak akan mengenal diri peribadinya jika buta oleh kekuasaan, hawa nafsu dan kesenangan sensual dan duniawi. Seperti orang melihat pertunjukan wayang ia ditimpa perasaan sedih dan menangis tersedu-sedu. Itulah sikap orang yang tidak dewasa jiwanya. Dia tahu benar bahwa wayang hanya merupakan sehelai kulit yang diukir, yang digerak-gerakkan oleh dalang dan dibuat seperti berbicara. Inilah kias seseorang yang terikat pada kesenangan indrawi. Betapa besar kebodohannya.” (Abdullah Ciptoprawiro 1984)
Selanjutnya Batara Guru berkata, “Demikianlah Arjuna! Sebenarnya dunia ini adalah maya. Semua ini sebenarnya dunia peri dan mambang, dunia bayang-bayang! Kau harus mampu melihat Yang Satu di balik alam maya yang dipenuhi bayang-bayang ini.” Arjuna mengerti. Kemudian dia bersujud di hadapan Yang Satu, menyerahkan diri, diam dalam hening. Baru setelah mengheningkan cipta atau tafakur dia merasakan kehadiran Yang Tunggal dalam batinnya. Kata Arjuna:
Sang Batara memancar ke dalam segala sesuatu
Menjadi hakekat seluruh Ada,
sukar dijangkau
Bersemayam di dalam Ada dan Tiada,
Di dalam yang besar dan yang kecil,
Yang baik dan yang jahat
Penyebab alam semesta, pencipta dan pemusnah
Sang Sangkan Paran (Asal-usul) jagad raya
Bersifat Ada dan Tiada,
Zakhir dan batin
Demikianlah, dengan menggunakan tamsil wayang, Sunan Bonang berhasil meyakinkan Wujil bahwa peralihan dari zaman Hindu ke zaman Islam bukanlah suatu lompatan mendadak bagi kehidupan orang Jawa. Setidak-tidaknya secara spiritual terdapat kesinambungan yang menjamin tidak terjadi kegoncangan. Memang secara lahir kedua agama tersebut menunjukkan perbedaan besar, tetapi seorang arif harus tembus pandang dan mampu melihat hakikat sehingga penglihatan kalbunya tercerahkan dan jiwanya terbebaskan dari kungkungan dunia benda dan bentuk-bentuk. Itulah salah satu inti ajaran Sunan Bonang dalam Suluk Wujil.
oleh
Annang ASWAJA
Jumat, 02 Agustus 2013
Wisanggeni Lahir
WISANGGENI |
Kahyangan
Setragandamayit, adalah suatu tempat yang menyeramkan. Disini tempat
tinggal berbagai mahluk halus dan siluman. Batari Durga,demikian nama
yang mbahu reksa tempat ini, adalah ratunya para ratu makhluk halus dan
siluman.
Batari
Durga, sebelumnya adalah Batari Uma yang berwajah raseksi, istri Batara
Guru, yang kemudian bertukar raga dengan Dewi Permoni. Dewi Permoni
adalah seorang gadis cantik yang waktu itu sedang bertapa,de ngan
harapan dapat bersuami dengan seorang dewa.
Batara
Guru memenuhi permintaan Dewi Permoni, untuk memperistrinya, tetapi
hanya raganya saja, sedangkan sukma nya akan menempati raga baru, yang
kemudian akan dikawin kan dengan salah satu keturunan dewa.
Dewi
Permoni menyanggupi apa yang diminta Batara Guru. Setelah ada
kesanggupan dari Dewi Permoni, maka Dewi Permoni duduk berhadap hadapan
dengan Dewi Uma, kemudian keduanya saling bertukar sukma. Padahal dewi
Uma yang berwajah raseksi itu dalam keadaan hamil. Mereka telah
bertukar sukma. Dewi Uma, menempati raga baru, raga Dewi Permoni yang
cantik. Sedangkan Dewi Permoni menempati raga baru pula, seorang raseksi
yang menakutkan, lagi pula sedang hamil. Dewi Permoni kemudian
dikawinkan dengan Batara Kala.
Setelah
dikawinkan dengan Batara Kala, Dewi Permoni mendapat gelar Batari Durga
dan menjadi ratu di Setragandamayit. Sedangkan anak yang dikandungnya,
setelah lahir menjadi anak Batari Durga dengan Batara Kala, anak inilah
yang bernama Dewasrani. Bagi Batara Kala, anak ini juga merupakan
adiknya,karena ayah kandung bayi adalah Batara Guru.
Kali
ini Batara Kala,menjadi gelisah, ketika diberi tahu oleh istrinya,
Batari Durga, bahwa anaknya, yang juga adiknya, Batara Dewasrani, ingin
beristrikan Dewi Dresanala. Padahal Dewi Dresanala sudah menjadi istri
Arjuna, dan sudah hamil tua, yang sekarang sudah saatnya mau melahirkan.
Batara
Kala, yang tidak pernah mau berurusan dengan siapa pun, menyerahkan
permasalahan Dewasrani kepada Batari Durga. Batari Durga, semula juga
menolak permintaan Dewasrani, karena Dewi Dresanala, sudah bersuamikan
Arjuna. Karena desakan yang terus menerus dari Dewasrani, maka Batari
Durgapun terpaksa menuruti kehendak puteranya Dewasrani untuk
memperistri Dewi Dresanala. Mereka pun berangkat ke Kahyangan
Jonggringsaloka, menemui Batara Guru.
Sesampai
di Kahyangan Jonggringsaloka, mereka meng hadapi Gerbang Selamatangkep
yang dijaga Batara Cingkarabala dan Batara Balaupata. Mereka harap harap
cemas, apakah pintu Gerbang Selamatangkep akan membuka atau akan
menutup selamanya. Mereka merasa senang ketika melihat pintu Gerbang
Selamatangkep telah membuka dengan sendirinya, berarti kedatangan mereka
diterima oleh Batara Guru. Mereka cepat cepat memasuki Gerbang
Selamatangkep, takut kalau pintunya menutup lagi.
Mereka menghadap Batara Guru. Batara Guru menanya kan
maksud dan tujuannya datang menemuinya. Batari Durga, mengatakan bahwa
ia sampai kekahyangan Jonggring saloka, karena berat beratnya ditangisi
anak. Kedatangan mereka berdua meminta restu Batara Guru, agar Batara
Dewasrani dikawinkan dengan Dewi Dresanala. Mengenai Dresanala yang
sudah bersuamikan Arjuna , adalah bukan halangan lagi. Mereka meminta
agar Dewi Dresanala dipisahkan dari Arjuna, bagaimanapun caranya. Karena
setelah berpisah dengan Arjuna,maka dengan mudah Dewi Dresanala akan
dikawinkan dengan Batara Dewasrani.
Batara Guru tentu saja menyetujui permintaan Batari Durga.Terlebih lebih Dewasrani adalah anak kesayangan Batara Guru.
Batara
Guru memanggil puteranya Batara Brahma, Batara Brahma diperintahkan
untuk memisahkan puterinya Dresanala dari Arjuna, dan mengusir Arjuna
dari Kaindran.
Batara
Brahma menuruti perintah ayahnya.Ia segera menuju Kaindran. Di
Kaindran, Batara Brahma tertegun, ketika melihat, di kamar Dewi
Dresanala, puterinya, dewi Dresanala tergolek lemah di tempat tidur dan
ditunggui oleh seorang tabib wanita. Kelihatannya Dewi Dresanala, sedang
menyiapkan persalinan. Sedangkan Arjuna menunggui istrinya Dresanala.
Tiba tiba saja, Batara Brahma, masuk kedalam kamar dan menarik tangan
Arjuna. Batara Brahma membawa keluar Arjuna dari kamar anaknya. Arjuna
didorong, sehingga jatuh kelantai. Arjuna disuruhnya keluar dari
Kahyangan, dan disuruhnya pulang ke marcapada, karena kesempatan menjadi
raja bidadari telah habis. Mengenai hubungan dengan Dewi Dresanala,
telah selesai saat ini dan tidak ada kesempatan lagi menemui Dresanala,
ataupun siapa saja yang ada di Kahyangan. Arjuna tidak mau menyerah. Ia
bertahan sampai dengan lahir puteranya. Mendengar keteguhan Arjuna yang
tetap ingin menunggui puterinya, Dewi Dresanala sampai melahirkan,
Arjuna dihajarnya habis habisan. Sementara itu Batara Indra yang
menguasai Kahyangan Kaindran, melihat kejadian itu tidak menerima
perlakuan Batara Brahma. Maka terjadilah perkelahian antara kedua
bersaudara itu. Keduanya sama sama kuat. Sementara itu para dewa yang
disuruh Batara Guru menyerang Arjuna. Arjuna tidak ingin membuat
keributan, maka iapun meninggalkan kahyangan Jonggringsaloka, dan turun
ke marcapada.
Batara
Narada sebenarnya tidak sependapat dengan tindakan Batara Guru, yang
bermaksud memisahkan Arjuna dari Dewi Dresanala. Kali ini Batara Narada
sangat kecewa pada Batara Guru, yang bertindak sepihak. tidak meminta
pendapat pada Batara Narada, selaku penasehat Batara Guru. Sementara itu
di Gunung Candradimuka, nampak para Dewa sedang berkumpul. Bayi Arjuna
yang baru dilahirkan, ternyata sedang di ajar berramai ramai oleh para
dewa. Mereka seperti bermain bola saja. Bayi itu disepak sepak dan di
injak injak. Kemudian oleh Batara Brahma, bayi itu diambilnya, dan
dimasukkan kedalam kawah Candradimuka. Dari jarak yang agak berjauhan.
Nampak Batara Narada mengejar Batara Brahma yang sedang melempar bayi.
Ternyata usaha Batara Narada, untuk menyelamatkan bayi itu terlambat.
Bayi putera Arjuna telah masuk kedalam Kawah Candradimuka. Batara Narada
memarahi para putera dewa, yang berbuat jahat pada bayi yang tidak
berdosa. Para dewa pun bubar meninggalkan
Batara Narada seorang diri. Batara Narada berusaha menolong bayi itu.
Ia menaiki Gunung Candradimuka, dan menuruni kawahnya. Sesampai ditepi
kawah, ia melihat sang bayi kelihatan hancur menyatu dengan lahar yang
teramat panas, yang menggelegak dan mendidih, seperti seekor semut jatuh
didalam godogan gula aren yang teramat panas. Namun ajaib, sebentar
kemudian, seorang anak telah merangkak keluar dari kawah. Tubuh anak itu
menyala nyala, terbakar api..Tiba tiba anak itu menghajar Batara
Narada. Sang bayi mengira yang memasukkan kedalam kawah adalah Batara
Narada. Batara Narada dapat meredam kemarahan bocah itu, dengan
mengangkat bocah itu keluar dari kawah dan turun dari gunung
Candradimuka.. Batara Narada memberikan nama Wisanggeni. Wisanggeni
menanyakan pada Batara Narada, siapakah dirinya dan siapa nama kedua
orang tuanya. Batara Narada menerangkan bahwa nama ayahnya Arjuna
satriya Madukara, sedangkan ibunya bernama Dresanala. Ibunya adalah
bidadari yang bernama Dewi Dresanala, Batara Narada menyuruh Wisanggeni
untuk menanyakan dimana ayah dan ibunya kepada para dewa, kalau para
dewa tidak tahu, disuruhnya Wisanggeni menghajarnya.
Wisanggeni pun mendatangi para dewa. Wisanggeni menanyakan dimana ayah dan ibunya.
Tidak
ada satupun dewa, yang mau memberi tahu, dimana keberadaan kedua orang
tua Wisanggeni. Wisanggeni menjadi marah, para dewa semua dihajarnya,
tidak kecuali Batara Guru. Melihat Batara Guru dihajar oleh Wisanggeni,
Batara Narada mendatanginya, dan meminta Wisanggeni untuk menghentikan
kemarahannya pada Batara Guru. Batara Narada menanyakan asal mula
terjadinya geger di kahyangan kepada Batara Guru. Batara Guru memberi
tahu kalau Dresanala dibawa Dewasrani kekahyangan Setragandamayit, untuk
djadikan istrinya. Sedangkan Arjuna sudah diusir dari Kaindran. Semua
ini terjadi karena permintaan Batari Durga, yang membantu keinginan
Dewasrani untuk memperistri Dresanala.
Mendengar
itu, Batara Narada meminta kepada Batara Guru agar membatalkan
perkawinan Dewasrani dengan Dresanala. Karena Dresanala adalah masih
istri Arjuna. Batara Guru merasa bersalah. Batara Guru meminta kepada
Batara Narada dan Wisanggeni untuk segera mengambil kembali Dewi
Dresanala, yang sekarang sudah dibawa oleh Dewasrani kekahyangan Setra
gandamayit.
Batara Narada berpamitan kepada Batara Guru, untuk mengantar Wisanggeni ke marcapada, menemui ayah. Wisanggani.
Sesampai
di Marcapada, Batara Narada dan Wisanggeni mencari Arjuna. Mereka
bertemu Arjuna di tengah hutan. Arjuna sedang melakukan tapa brata untuk
minta anugrah dewata, agar bisa berkumpul kembali dengan Dewi
Dresanala dan anaknya. Para punakawan segera membangunkan tapa Arjuna, ketika dilihatnya Batara Narada membawa seorang bocah yang sedang mencari ayahnya.
Arjuna
bangun dari tapanya. Arjuna menyambut kedatang an Batara Narada. Arjuna
menangis, dan merasa senang apabila kedatangan Batara Narada akan
mencabut nyawa Arjuna, karena sudah tidak tahan menerima penderitaan
yang begitu berat. Ia diusir dari Kahyangan, dan harus berpisah dengan
anak istrinya.
Batara
Narada ikut merasakan kesedihannya.Kemudian Batara Narada menjelaaskan,
bahwa kejadian itu akibat permintaan Batari Durga kepada Batara Guru,
agar memisahkan Dewi Dresanala dari Arjuna, yang kemudian akan
dikawinkan dengan Dewasrani. Mendengar itu Arjuna menjadi marah. Namun
Arjuna merasa bahagia, setelah diberitahu Batara Narada, bahwa bocah
berwarna api menyala, itu anaknya dengan Dewi Dresanala.
Batara
Narada, kemudian memberitahu, bahwa Dewi Dresanala, sudah tidak berada
lagi di Kahyangan, akan tetapi, sudah dibawa Dewasrani ke Kahyangan
Setragandamayit. Setelah menyampaikan pesan pesan kepada Arjuna. Batara
Narada pun berpamitan kembali ke Kahyangan.
Arjuna
disertai Semar berangkat ke Kahyangan setragan damayit, dan Wisanggeni
putera Arjuna pun tak keting galan ia mengikuti kepergian ayahnya.
Sesampai di Setra gandamayit, terjadi perkelahian hebat antara Arjuna
dan Dewasrani. Sedangkan Semar berkelahi dengan Batari Durga.Namun kedua
jago kita merasa tidak mampu dengan kekuatan Dewasrani dan Batari
Durga. Melihat kekalahan ayah dan pamongnya, tiba tiba saja anak Arjuna,
Wisanggeni, ikut tandang gawe, Wisanggeni, yang mempunyai kekuatan api
di ujung lidahnya, bagaikan seekor naga, yang menyemburkan api apinya
kepada kedua lawannya, yang membuat kedua lawannya terbakar api. Mereka
melarikan diri dari istana Setragandamayit. Akhirnya Arjuna membebaskan
Dresanala dari tawanan Dewasrani. Kemudian Dewi Dresanala pun dibawa
Arjuna ke Madukara, bersama puteranya, Wisanggeni. Wisang geni bahagia
hidup bersama dengan ayah bundanya. Semar pun ikut merasakan kebahagiaan
mereka.
Dalam
cerita Begawan Mintaraga, Arjuna di wiwaha menjadi Raja Kaindran dan
bergelar Prabu Karitin. Dewi Supraba menjadi istrinya, dan mendapatkan
putera bernama Prabakusuma.. Setelah Wisanggeni dewasa. mempunyuai istri
bernama Dewi Mustikawati, puteri Prabu Mustikadarma raja negeri
Sonyadarma
Jumat, 26 Juli 2013
Langganan:
Postingan (Atom)